Rabu, 18 Maret 2009

Kembangkan Paradigma Sesuai UU Sisdiknas

Jakarta, Kompas - Paradigma tentang pendidikan luar biasa hendaknya tak lagi berkutat pada aspek keterbatasan fisik, mental, dan emosional. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jangkauan layanan pendidikan luar biasa juga mencakup potensi akademik dan bakat istimewa.

"Sudah saatnya dikembangkan paradigma baru untuk menangani warga negara yang punya keterbatasan fisik, emosional, mental, serta berkecerdasan dan bakat istimewa dalam model pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus," ujar Fuad Abdul Hamid, Deputi IV Menko Kesra, pada pembukaan Ajang Prestasi, Kemah Bhakti dan Gebyar Seni Siswa Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus di Bandung, Rabu (15/11).

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto menambahkan, paradigma tersebut hendaknya tidak sebatas slogan dan payung hukum, tetapi juga tampak dalam tataran implementatif, termasuk dalam penganggaran. Sebab, mendapatkan layanan pendidikan bermutu yang sesuai dengan potensi, bakat, dan minat adalah hak setiap peserta didik.

"Pendidikan bermutu pada gilirannya akan melahirkan manusia mandiri. Mereka berpotensi menggerakkan ekonomi masyarakat demi kemajuan bangsa," ujar Suyanto.

Terkait dengan itu, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso menguraikan luasnya jangkauan dari penjabaran UU Sisdiknas. Pasal 32 UU Sisdiknas menegaskan amanah untuk memperluas makna istilah "luar biasa", tanpa sekadar berkutat pada aspek-aspek keterbatasan fisik dan mental peserta didik. Ini karena, anak yang memiliki bakat dan kecerdasan di atas rata-rata pun perlu dianggap luar biasa dan perlu penanganan khusus.

Akan ditambah

Dalam kaitan upaya penuntasan program wajib belajar sembilan tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa, pada tahun 2007 pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus. Ini terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, daerah terpencil, dan perbatasan.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang ia maksud di antaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (Nanggroe Aceh Darussalam). Daerah-daerah yang menjadi proyek percontohan ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

"Program (pendidikan layanan khusus) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, pendidikan layanan khusus ditujukan bagi siswa yang ada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil, daerah konflik, maupun bekas bencana alam," ujarnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah, sasaran pendidikan layanan khusus adalah siswa usia wajib belajar sembilan tahun. Keunikan dari program ini, metode pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Ia dipadukan dengan pembekalan kecakapan hidup, yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa membantu pencapaian target wajib belajar pendidikan dasar, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. "Tahun 2006, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus," ujarnya.

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007. Kenaikannya mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya. Dari total Rp 365 miliar anggaran pendidikan luar biasa, 30 persen di antaranya ditujukan untuk pendidikan layanan khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar