Tampilkan postingan dengan label 3. Pendidikan Tinggi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 3. Pendidikan Tinggi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Mei 2009

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi masih Rendah

JAKARTA -- Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Presentase angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi) masih cukup rendah dibanding dari jumlah penduduk Indonesia'' kata Taufik Hanafi, Direktur Pendidikan dan Urusan Keagamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa (10/3).

Rendahnya angka tersebut menurut Taufik dipengaruhi oleh angka kelulusan SLTA yang juga masih rendah.Berdasarkan Angka Kerja Menurut Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan di Perkotaan dan Pedesaan tahun 2008 oleh Bappenas, angka tertiggi kelulusan SLTA dari tujuh regional (desa dan perkotaan) hanya mencapai 30, 28 persen dari total usia sekolah. Sedangkan angka terendah di Nusa Tenggara hanya mencapai 21,10% dan di Jakarta dan Pulau Jawa angka kelulusan SLTA hanya mencapai 28,43 persen.

''Untuk tingkat pendidikan dasar memang sudah cukup baik tapi untuk tingkat lanjut setingkat SLTP dan SLTA masih tertinggal dibanding negara lain,'' kata dia.Menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programe 2002-2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Ketiga dari bawah untuk negara ASEAN. di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 105, Filipina (90), dan Thailand (78).Peringkat tertinggi negara ASEAN diduduki Singapura, yaitu ke- 25 dari 170 negara.

Taufik mengatakan untuk mendukung rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2008 pada lima tahun kedua (2010-2014) angka partisipasi diharapkan meningkat menjadi 25 persen.''Memang peningkatan yang diharapkan cukup tinggi. Tapi angka tersebut harus diupayakan untuk mendukung RPJPN hingga 2025 mendatang,'' kata dia. fia/ism

Indonesia-Perancis Jajaki Kerjasama Pendidikan Tinggi

TEMPO Interaktif, Jakarta: Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Perancis menjajaki kerjasama pendidikan tinggi bidang pariwisata dan perhotelan. Kerjasama yang akan dijalin diantaranya adalah pertukaran tenaga pengajar, gelar ganda, serta pendidikan jenjang pascasarjana (S2) dan doktoral (S3). Kerjasama ini difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Bagian Kerjasama dan Kebudayaan Besar Perancis, dan CampusFrance Indonesia.

Para perwakilan institusi pendidikan tinggi Perancis mulai 4-9 Mei 2009 akan mengunjungi beberapa perguruan tinggi bidang pariwisata dan perhotelan di tiga kota, yakni Jakarta, Bandung, dan Bali.

Direktur Kelembagaan Departemen Pendidikan Nasional Hendarman dalam siaran persnya menyampaikan, pemerintah akan memfasilitasi perizinan untuk pertukaran tenaga pengajar kepada institusi pendidikan tinggi yang akan saling menjalin kerjasama. "Bentuk kerjasama bisa dalam pertukaran dosen. Mereka akan mengunjungi Universitas Trisakti, Bina Nusantara, dan ke sejumlah universitas di Bandung. Kalau mereka melihat kerjasama ini bagus, ya bisa dipercepat, tergantung mereka," katanya.

Menurut Hendarman, kerjasama dapat dijalin atas pengakuan masing-masing institusi. Dia mencontohkan, untuk gelar ganda, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.26 Tahun 2007 tentang Kerjasama Perguruan Tinggi di Indonesia dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga Lain di Luar Negeri, harus disepakati persentasi perkuliahan di kedua universitas. Pada pasal 12 ayat 2 disebutkan, untuk memperoleh ijazah, gelar akademik dan/atau vokasi, program studi pada program gelar ganda memiliki kesamaan beban studi paling sedikit 75 persen. "Supaya nanti ada pengakuan dua-duanya. Nah, ini bagus karena mahasiswa kita juga bisa memasuki kompetisi global itu," katanya.

Atase Kerjasama Ilmiah dan Teknik Perancis Dominique Dubois menyampaikan, bidang turisme memiliki dampak yang besar terhadap perekonomian Perancis. Dia menyebutkan, konsumsi bidang turisme sebanyak Eur 118 milyar per tahun dan sebanyak 35 persen adalah dari luar Perancis. Sementara, lanjut dia, pembelanjaan sektor turism menunjukkan angka positif sebanyak Eur 13 milyar setiap tahun. Penduduk Perancis yang keluar negeri membelanjakan 27 milyar, sedangkan turis yang datang membelanjakan Eur 40 milyar. "Sekitar 80 juta orang berkunjung ke Perancis per tahun. Perancis adalah salah satu tujuan turis di dunia," katanya.

Dominique mengatakan, bisnis di sektor turisme mempekerjakan 850.000 pegawai. Dia menyebutkan, di Perancis terdapat sebanyak 25.000 hotel, 120.000 restoran dengan turn over sebanyak Eur 17 juta. "Di bidang pendidikan terdapat sebanyak 2,2 juta pelajar dan 260.000 diantaranya adalah pelajar asing," katanya.

Dominique menyebutkan, di Perancis terdapat sebanyak 3.500 institusi pendidikan baik negeri maupun swasta. Dia menjelaskan, pelajar asing yang datang ke Perancis diperlakukan tidak seperti orang asing pada umumnya. Mereka, kata dia, memiliki beberapa keuntungan seperti para pelajar Perancis. "Mereka tidak dibebankan sebagai pembayar pajak," katanya.

Dominique menjelaskan, sistem pendidikan di Perancis menganut sistem Eropa yang disebut LMD atau License (setara S1), Master (S2), dan Doctor (S3). Jenjang License, kata dia, ditempuh selama enam semester, empat semester tambahan untuk program master, dan minimum tiga tahun untuk program doctor. "Di Eropa juga terdapat sistem transfer kredit," katanya.

Membangun Universitas Riset

Membangun Universitas Riset

Para pemerhati pendidikan kini semakin menyadari bahwa perguruan tinggi (PT) di Indonesia perlu memperluas peran konvensionalnya yakni bukan sekadar sebagai lembaga pencetak tenaga ahli dan kaum terpelajar semata. PT perlu dikembangkan menjadi institusi produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, pemecah masalah atas kompleksitas persoalan sosial-kemasyarakatan, penyedia layanan publik, dan pusat pengkajian bagi kemajuan dan keunggulan bangsa. Untuk itu, membangun universitas riset bukan saja merupakan kebutuhan mendesak, melainkan juga sangat penting guna menjaga daya tahan dan keberlanjutan PT bersangkutan.

Urgensi membangun universitas riset harus diletakkan dalam konteks, paling kurang, tiga tantangan utama. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang berlangsung sangat cepat dan dinamis. Bahkan lembaga-lembaga riset di luar PT, terutama divisi R&D yang dikelola dunia industri, acap kali menjadi pelopor bagi penemuan-penemuan baru dan inovasi teknologi mutakhir, yang menggerakkan revolusi teknologi secara spektakuler. Kedua, iptek kian menunjukkan kedigdayaannya sebagai instrumen utama penggerak pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Perkembangan ekonomi suatu negara kini tidak lagi hanya bertumpu pada pertanian dan industri manufaktur semata. Banyak negara mengalami kemajuan pesat dengan memperkuat ekonomi berbasis iptek seperti Jepang, Korsel, China, Hong Kong, dan Malaysia. Ketiga, globalisasi sudah menjadi fenomena mondial yang membawa pengaruh dahsyat pada pendidikan tinggi. Dampak paling nyata adalah interaksi antara PT asing dan PT domestik yang berlangsung makin intensif. Hal itu terwujud dalam berbagai bentuk kerja sama kelembagaan seperti professorial fellowships, pertukaran dosen, penelitian, atau penyelenggaraan kegiatan ilmiah (simposium, konferensi). Bahkan beberapa universitas asing sudah mulai merintis jalan untuk beroperasi di Indonesia dalam skema kemitraan dengan universitas di dalam negeri.

Dengan memperhatikan ketiga tantangan di atas, sebagai bangsa kita harus berikhtiar membangun universitas riset unggulan di Indonesia. Konsep universitas riset modern dilukiskan oleh Nannerl O Keohane dalam The Mission of the Research University (1994) sebagai A company of scholars engaged in discovering and sharing knowledge, with a responsibility to see that knowledge is used to improve the human condition. Misi utama yang diemban universitas riset adalah penelitian dan pengajaran, yang harus mengutamakan dua hal esensial, discovering dan sharing. Melalui penelitian akan berlangsung discovering pengetahuan, bukan sekadar acquiring, yang mengandaikan seorang ilmuwan berupaya mengerahkan segenap daya intelektualnya dalam melakukan pencarian, penjelajahan, eksperimentasi, percobaan, dan pengujian ilmiah melalui trial-and-error method. Upaya ini harus dilakukan secara tekun, konsisten, dan sistematis berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan, sehingga melahirkan suatu breakthrough yakni penemuan-penemuan baru yang memberi manfaat bagi kepentingan umat manusia.

Melalui pengajaran akan berkembang sharing pengetahuan—bukan sekadar transmitting pengetahuan—yang mengandaikan seorang sarjana dan ilmuwan bukanlah satu-satunya pemegang otoritas keilmuan di suatu komunitas akademis, melainkan salah satu simpul saja dari serangkaian mata rantai sumber ilmu pengetahuan. Dengan prinsip sharing, ilmu pengetahuan dibagi dan dialirkan ke segenap sivitas akademika melalui mekanisme shared experience. Mekanisme ini membuka peluang berlangsungnya self-criticism, self-renewal, pengujian, dan perdebatan sehingga terbangun wacana dan tercipta dialektika pemikiran yang dapat memicu discovery dan exploration. Karena itu, setiap ilmuwan harus mampu menjaga keseimbangan antara kegiatan ilmiah di ruang laboratorium dan kegiatan mengajar di ruang kelas. Penciptaan, penemuan, dan produksi ilmu pengetahuan terjadi melalui proses yang panjang, suatu sinergi antara ketekunan bereksperimen di laboratorium (termasuk riset lapangan) dan kegigihan berdialektika di ruang kuliah. Bukankah pengalaman Eureka! Archimedes (287-212 SM) karena ia melakukan dialog dan kontemplasi panjang serta 'bereksperimen kecil' dengan melompat ke bak mandi, yang menjadi sumber ilham dalam merumuskan asas hidrostatika? Dunia kemudian mencatat, hukum Archimedes tentang asas hidrostatika dalam ilmu fisika ini memberi kontribusi besar dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Untuk membangun universitas riset dibutuhkan dukungan infrastruktur dan sumber daya (manusia dan finansial) yang memadai. Dukungan infrastruktur yang diperlukan: (i) gedung dan ruang pembelajaran, (ii) laboratorium berikut peralatan guna melakukan eksperimentasi, (iii) perpustakaan dan buku referensi untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru, (iv) ruang kantor bagi dosen dan peneliti guna merenung dan menulis (makalah, artikel, buku), dan (v) fasilitas pendukung seperti komputer berikut jaringan internet guna mengakses aneka academic resources berupa jurnal ilmiah, monograf, laporan penelitian, atau hasil kajian. Dukungan SDM tentu sangat vital. Tenaga akademik berkualifikasi doktor/master memainkan peranan sentral. SDM bermutu untuk menjamin kualitas program akademik sehingga universitas dapat melahirkan lulusan-lulusan berkualitas di berbagai bidang keilmuan dan keahlian.

Kebijakan Ditjen Pendidikan Tinggi mengirim 2.500 dosen untuk mengambil PhD dan master ke luar negeri tentu saja bagus. Namun, kebijakan itu harus diimbangi dengan membangun pusat-pusat penelitian/laboratorium. Dengan demikian, sepulang mereka dari sekolah bisa berkiprah melalui kegiatan riset ilmiah untuk mengembangkan iptek. Tanpa dukungan pusat penelitian/laboratorium, mereka tak akan maksimal dalam menekuni kerja-kerja keilmuan bahkan bisa mengalami frustrasi karena potensi mereka tak tersalurkan semestinya. Dukungan finansial jelas sangat determinan agar universitas riset bisa beroperasi dan dapat menjalankan tiga fungsi utamanya secara maksimal yakni pengajaran, penelitian, dan pelayanan publik. Dukungan finansial juga diperlukan untuk membayar gaji dosen dan peneliti secara layak agar mereka bisa bekerja profesional. Ada ungkapan populer, If you need professional employees you should provide professional salary.



Untuk mengukur kapasitas dalam membangun universitas riset, kita perlu melihat kemampuan Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain dalam menyediakan public expenditure untuk R&D dan ketersediaan tenaga peneliti yang mendukungnya. Menurut Human Development Report 2006, antara tahun 1996 sampai 2006 kemampuan Indonesia mengeluarkan belanja publik untuk penelitian dan pengembangan hanya sebesar 0,5% dari PDB.



Sementara itu pengeluaran publik untuk keperluan serupa di Malaysia 0,7%, China 1,1%, Singapura 2,1%, dan yang paling besar Korsel 3,0% dari PDB. Dokumen HDR juga mencatat jumlah tenaga peneliti bidang R&D per satu juta penduduk di Indonesia sebanyak 130, Malaysia 160, China 548, Korsel: 2.880, dan yang paling banyak Singapura: 4.052. Memperhatikan data ini, dapat dimaklumi bila keempat negara tersebut berhasil mencapai kemajuan signifikan dalam membangun universitas riset berkelas dunia sehingga mampu bersaing pada level internasional. Menurut Times Higher Education Supplement 2007, Hong Kong, Singapura, China, dan Korsel berhasil menempatkan perguruan tinggi mereka pada peringkat 100 universitas terbaik dunia. Sekadar menyebut beberapa saja, University of Hong Kong (18), National University of Singapore (33), Beijing University (36), National Tsing Hua University (40), Seoul National University (51), dan Nanyang University of Technology (69).



Keberhasilan negara-negara Asia Timur tersebut dalam membangun pendidikan tinggi berjalan paralel dengan tingkat kemajuan ekonomi mereka. Ini semakin membuktikan betapa pencapaian kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada keberhasilan membangun pendidikan tinggi. Pengalaman ini bisa menjadi rujukan dalam upaya membangun perguruan tinggi di Indonesia, sehingga mampu bersaing pada level global. Jika bermimpi punya universitas riset berkelas dunia seperti Amerika dan Eropa dianggap terlampau tinggi, setidaknya kita dapat melakukan benchmarking dengan universitas sejenis di negara-negara tetangga di Asia Timur. Mereka telah terbukti berhasil membangun universitas riset unggulan sehingga mampu bersaing dengan universitas lain di tingkat dunia. Benchmarking sangat penting sebagai langkah awal dalam melakukan perbaikan mutu dan peningkatan kinerja perguruan tinggi di Indonesia.

Oleh Amich Alhumami
Peneliti Sosial dan Pemerhati Pendidikan
Kandidat Doktor pada Department of Social Anthropology,
University of Sussex, United Kingdom

Penurunan Anggaran Berdampak pada Pendidikan Tinggi

JAKARTA, KOMPAS.com — Penurunan anggaran pendidikan berdampak besar bagi perguruan tinggi yang selama ini mutu dan daya tampungnya masih sangat terbatas. Terutama berpengaruh pada kegiatan penelitian yang ikut menentukan kualitas perguruan tinggi.

"Pengembangan ilmu dan penelitian yang umumnya dilakukan di lembaga pendidikan tinggi membutuhkan biaya besar. Jika ilmu pengetahuan tidak berkembang, budaya tidak berkembang," kata Direktur Institute of Education Reforms Utomo Dananjaya, Jumat (1/5).

Seperti diwartakan sebelumnya, anggaran pendidikan tahun 2010 ditargetkan senilai Rp 195,636 triliun atau berkurang Rp 11,7 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,413 triliun.

Dengan anggaran Rp 195,636 triliun, anggaran pendidikan 2010 setara dengan 20,6 persen dari total RAPBN 2010. Anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 21 persen dari APBN. Anggaran tahun depan difokuskan untuk pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.

Utomo mengatakan, sepanjang pemerintah menghindari memberikan anggaran pendidikan memadai, peningkatan mutu dan akses tetap terhambat. Dia berpandangan, kondisi itu bukan karena pemerintah tidak mempunyai dana, melainkan komitmen terhadap pengembangan ilmu dan budaya sangat rendah.

Padahal, tanpa pembangunan pendidikan yang serius, sangat sulit mengejar peradaban yang tinggi. "Paradigma penguasa dan elite politik dalam melihat pendidikan yang mesti diubah," ujarnya.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistyo mengatakan, Jumat, sangat prihatin dan menyesalkan adanya kemungkinan penurunan anggaran pendidikan tersebut.

Menteri Pendidikan Nasional berkewajiban meyakinkan agar seluruh departemen mempunyai niat sama untuk membangun sumber daya manusia melalui pendidikan. PGRI sendiri pernah mengajukan uji material terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang belum memenuhi ketentuan anggaran pendidikan 20 persen ke Mahkamah Konstitusi bersama Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia.

"Anggaran pendidikan seharusnya tidak turun, terlebih lagi kebutuhan penggajian dan pendidikan meningkat," ujarnya.

Dia berharap pula anggaran untuk kesejahteraan melalui pemberian tunjangan profesi dan fungsional guru tidak terganggu, apalagi kesejahteraan guru, terutama guru honorer dan tidak, tetap masih jauh dari harapan.


Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi

Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi

Institusi pendidikan tinggi (universitas) tidak steril dari tuntutan dan perkembangan zaman. Kemampuan menyikapi tantangan dan tren yang dibawa oleh zaman akan sangat menentukan apakah sebuah universitas dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar. Tantangan dan tren inilah yang memaksa dan mengharuskan universitas untuk menerapkan logika korporasi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi pembiayaan, memperhitungkan setiap risiko (calculability), dan kemampuan untuk memprediksi tantangan dan tren ke depan (predictability). Dalam bahasa Kezar (2000), peran seorang rektor akan semakin menyerupai manajer perusahaan, dan manajemen universitas makin menitikberatkan pada akuntabilitas. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah bergesernya fokus pendidikan dari sasaran utamanya, yaitu mahasiswa. Tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan tinggi yang bermutu dan murah pasti akan menyulitkan universitas dalam mendesain, baik program maupun kepastian lulusannya agar dapat diterima pasar kerja (Kovel-Jarboe, 2000).

Setiap universitas dapat dipastikan memiliki problem sosialnya sendiri. Pada saat bersamaan, dalam setiap masyarakat juga memiliki masalah dan isu-isu yang berkaitan dengan dunia universitas. Strategi yang mungkin akurat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut sangat bergantung pada kondisi struktur dan kepemimpinan di tingkat lokal dan latar belakang kesejarahan masyarakat itu sendiri. Segenap potensi sumber daya universitas seyogianya digunakan untuk memperbarui, memvalidasi, dan memperluas wilayah keilmuan yang bersifat humanis dengan menggunakan metode-metode pengetahuan standar. Metode pengetahuan tentu saja hanya dapat ditransmisi dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan terbuka sebagai bentuk way of life. Pentingnya budaya demokratis yang bertanggung jawab di universitas adalah tuntutan lain dari kebutuhan dan perkembangan psikososial mahasiswa kita yang semakin sensitif terhadap semua jenis isu sosial dan politik (Dickinson, 1991).

Otonomi dan tren pendidikan tinggi

Isu otonomi pendidikan sebenarnya sudah dimulai di Indonesia sejak masa Presiden Habibie. Meskipun isu otonomi dan kebebasan akademis dalam beberapa hal sangat kontroversial, dalam batas tertentu kita harus menganggapnya sebagai kebutuhan yang bisa fleksibel. Otonomi adalah hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikan opini mereka terjamin.

Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, keseluruhan proses belajar mengajar di universitas secara moral dan intelektual haruslah independen dan terlepas dari semua kepentingan politik dan kekuasaan. Kebebasan dalam menjalankan proses belajar mengajar dan melakukan riset secara terbuka merupakan pilihan strategis dan fundamental bagi universitas dalam rangka menjaga independensinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, universitas harus secara konsisten dan konsekuen menjaga prinsip-prinsip otonomi seperti: (1) Hak untuk mempekerjakan dan memecat staf akademis yang melanggar etika dan tidak dapat mengembangkan kapasitas akademisnya, (2) hak untuk memutuskan apa dan bagaimana proses belajar mengajar harus dijalankan, (3) hak untuk menyeleksi mahasiswa dan mengevaluasi performance mereka secara mandiri dan bertanggung jawab, serta (4) hak untuk memilih topik-topik riset yang mereka inginkan tanpa harus takut akan intervensi pihak luar.

Di samping soal otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan. Isu tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi pendanaan, dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).

Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset. Selain itu, universitas diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi. Jika strategi kolaborasi ini berjalan, perencanaan pendidikan menjadi lebih mudah disosialisasikan ke tingkat masyarakat. Dengan demikian, pembukaan program-program baru yang berorientasi pada pasar atau kebutuhan masyarakat perlu dijajaki.

Selain itu, dalam menjalankan strategi pendanaannya, lembaga pendidikan tinggi juga harus memperhatikan daya beli masyarakat. Karena itu, riset tentang pembelanjaan dana publik di sektor pendidikan harus dilakukan. Belajar dari tren yang berkembang di Amerika Serikat, skema distribusi dana pendidikan diubah dari 'subsidi' menjadi 'pinjaman'. Perubahan ini sudah barang tentu merugikan masyarakat kurang mampu, yang enggan terbebani utang. Meski demikian, permintaan pinjaman mahasiswa meningkat secara signifikan, yang jumlahnya naik dari setengah menjadi tiga perempat dana pinjaman dalam anggaran pemerintah pusat. Adapun di tingkat negara bagian, alokasi anggaran pendidikan menunjukkan peningkatan. Sumbangan korporasi untuk universitas pun meningkat. Di samping itu, semakin banyak negara bagian yang mengikuti jejak California mengenalkan skema pinjaman yang lunak (Kovel-Jarboe, P 2000).

Strategi dan skema pendanaan yang berlaku saat ini di Amerika Serikat boleh jadi dapat menginspirasi lembaga pendidikan tinggi kita untuk melakukan kerja sama dengan perbankan dan pemerintah daerah dalam menggalang dana publik masuk ke sektor pendidikan tinggi. Ke depan, diharapkan ada riset mendalam yang secara spesifik melihat kemungkinan strategi pendanaan seperti ini bagi para mahasiswa kita di Indonesia.

Strategi ketiga adalah bagaimana lembaga pendidikan memetakan kemampuannya dalam melihat segmentasi pasar. Harus kita sadari bahwa 'peta sosial' universitas senantiasa berubah, baik dalam hal komposisi umur dan jenis kelamin, serta konfigurasi mayoritas-minoritas. Hal yang penting diperhatikan adalah meningkatnya jumlah 'mahasiswa dewasa'. Ketika perusahaan mengurangi program-program pelatihan, karyawan berpaling pada institusi akademis. Universitas-universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang tanggap akan kebutuhan ini, yaitu yang mampu menjanjikan peningkatan kemampuan akademis dan keahlian khusus, baik melalui kelas reguler maupun kelas jarak jauh, menjadi lebih kompetitif.

Dengan kesadaran tentang the new student map, sesungguhnya kita menginginkan agar universitas di Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam melihat kebutuhan tenaga profesional di segala bidang dengan kebutuhan dunia birokrasi dan usaha. Para pekerja yang ingin memperoleh ilmu dan meningkatkan profesionalitas mereka perlu diakomodasi oleh lembaga pendidikan seperti universitas dengan membuka program-program yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan secara bertanggung jawab.

Kesadaran tentang paradigma instruksional lembaga pendidikan kita juga tampaknya perlu digeser menjadi paradigma pembelajaran yang mengedepankan keberagaman model belajar dan multiple intelligences. Pada titik ini, peran dosen dan tenaga pengajar lainnya menjadi sangat penting. Karena itu, dosen dan tenaga akademis di setiap lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan, pengetahuan, dan keahlian dalam memutuskan bagaimana dapat membantu mahasiswa belajar secara maksimal. Perubahan paradigma pembelajaran ini juga membawa konsekuensi logis kepada universitas untuk melakukan program-program penyegaran dan pelatihan yang dapat memacu kreativitas pembelajaran (Kezar, 2000).

Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Selasa, 14 April 2009

INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI

Pengesahan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan memicu kontroversi di sebagian masyarakat akademia.Mereka menolak dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI). Para mahasiswa berdemonstrasi menentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.Industri pendidikanBiaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi—karena didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar—akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.Tiga motifKomersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.BahayaNamun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciences de l’homme.Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.

MEMBEDAH INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI

KOMPETISI global juga sudah melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial. PERGURUAN tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.

Persaingan merebut kue

Akhir tahun ajaran jenjang pendidikan SLTA sebenarnya jatuh sekitar bulan Mei. Para lulusan SMA/SMK biasanya mendapat surat tanda tamat belajar (STTB) dan surat tanda kelulusan (STK) sekitar bulan Juni. Namun sebelum mengikuti ujian akhir nasional (UAN), sebagian siswa SMA/SMK -terutama yang nilai rapor hingga semester lima tidak di bawah rata-rata-sudah mendapat tempat di perguruan tinggi.

Beberapa perguruan tinggi sudah melakukan ujian seleksi masuk dan menerima siswa SMA/SMK sekitar bulan Maret dan April. Bahkan ada perguruan tinggi yang sudah memulai seleksi gelombang pertama pada Januari dan Februari.
Beberapa tahun terakhir ini, seleksi mahasiswa baru menjadi makin dini karena perguruan tinggi berlomba-lomba memajukan tanggal penerimaan mahasiswa baru untuk menjaring mahasiswa pilihan sebelum didahului perguruan tinggi pesaing. Dalam semangat persaingan ini, ada perguruan tinggi yang menetapkan seleksi gelombang pertama pada awal tahun, tetapi sebetulnya diam-diam sudah memastikan untuk menerima mahasiswa pilihan sekitar bulan Oktober dan November ketika siswa SMA/SMK belum mengikuti ujian akhir semester gasal. Seleksi pra-gelombang pertama ini dibungkus dengan nama jalur prestasi, jalur khusus, jalur kerja sama, dan semacamnya.

Praktik penerimaan mahasiswa baru ketika mereka masih berstatus siswa kelas III, sering menimbulkan protes dari pihak sekolah menengah. Ada keluhan, siswa kelas III yang sudah diterima di perguruan tinggi menunjukkan kecenderungan meremehkan pelajaran dan guru mereka, meski beberapa perguruan tinggi menjanjikan bisa saja
membatalkan penerimaan jika ada laporan pihak SMA/SMK mengenai tindakan indisipliner siswa. Keluhan lain pihak SLTA adalah kedatangan dan kunjungan perguruan tinggi yang meminta waktu untuk melakukan presentasi kepada siswa kelas tiga. Akibat frekuensi kunjungan yang begitu besar, banyak kepala dan guru SLTA menghkhawatirkan erganggunya jadwal kerja dan pelajaran sekolah.

Di satu sisi, siswa kelas III memang membutuhkan informasi dan sosialisasi dari perguruan tinggi. Tetapi di sisi lain, jika kepala SMA/SMK melayani setiap permintaan perguruan tinggi untuk mengadakan presentasi, banyak waktu pelajaran harus dikorbankan, sementara siswa kelas III juga harus menyiapkan diri menghadapi UAN.
Beberapa SMA-terutama yang favorit dan menjadi target PTS-mengakomodasi kedua kebutuhan ini dengan menyediakan satu atau dua hari khusus untuk informasi studi dan mengundang PTS (dalam negeri maupun perwakilan PT luar negeri).

Untuk mendapatkan calon mahasiswa yang bersedia membayar sumbangan masuk antara Rp 3 juta hingga di atas Rp 30 juta, pihak perguruan tinggi tidak keberatan membayar sewa stan atau memasang iklan di buku kenangan yang dibuat sekolah. Jadinya, selain memberi kesempatan bagi siswa untuk window shopping sebelum membuat keputusan akhir,
ajang promosi perguruan tinggi juga memberi kesempatan bagi siswa SMA untuk mendapat dana tambahan yang mungkin dipakai untuk keperluan sekolah maupun kesejahteraan guru.

Program unggulan
Akreditasi program studi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) merupakan syarat minimal namun tidak cukup memadai untuk dijadikan poin jual. Kini perguruan tinggi berlomba mengemas dan menonjolkan beberapa program unggulan lain, di antaranya sertifikasi internasional, kerja sama dengan industri, dan kerja sama internasional.

Sertifikasi internasional bisa berupa pengakuan dari organisasi profesi di luar negeri (misalnya ada program bisnis yang mengklaim mendapatkan pengakuan AACSB, American Association of Colleges and Schools of Business) atau sertifikasi kendali mutu yang biasanya dilakukan di dunia industri (ada PTS yang telah memperoleh ISO 9001).

Keterkaitan antara perguruan tinggi dan dunia kerja merupakan salah satu area yang sering mendapat sorotan. Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi (SK Mendiknas No 045/U/2002 perihal Kurikulum Inti), pengajaran harus relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kompetensi yang ditentukan industri terkait dan organisasi profesi. Maka dari itu, kerja sama dengan industri sering dijadikan poin jual. Beberapa perguruan tinggi mencantumkan pelatihan dan sertifikasi Microsoft, SAP, atau Autocad dalam brosur mereka. Sementara perguruan tinggi lain memasukkan nama-nama
perusahaan besar sebagai tempat magang dan penampung lulusan mereka.

Kerja sama internasional-berupa program transfer, sandwich, double degree dengan universitas luar negeri, dan pertukaran mahasiswa-sering ditonjolkan sebagai daya tarik karena dipercaya meningkatkan citra perguruan tinggi sebagai institusi berkualitas internasional. Dalam hal ini, calon mahasiswa dan orangtua perlu jeli dan memperhatikan dua hal.

Pertama, apakah institusi luar negeri yang dipasang sebagai mitra benar-benar berkualitas. Tidak semua institusi asing bermutu. Perguruan tinggi di Indonesia bisa saja memanfaatkan gengsi dan kelatahan orang Indonesia (termasuk diri sendiri) terhadap label asing. Ada universitas terkemuka di Indonesia yang pernah terkecoh dan mengecoh publik melalui kemitraan dengan institusi yang ternyata malah hanya menawarkan program nongelar dan reputasinya biasa-biasa saja. Kadang, institusi luar negeri yang dicantumkan menggunakan nama pelesetan yang bisa mengecoh. University of
Berkeley tentu tidak sama dengan University of California at Berkeley dan Nanyang Institute berbeda dengan Nanyang Technological University.

Kedua, jika institusi luar negeri yang dipasang benar-benar bergengsi, betulkah ada kesepakatan timbal balik antara kedua institusi. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia tidak segan-segan mencatut nama besar seperti INSEAD, Harvard University, universitas dalam kelompok Ivy League atau universitas besar lainnya. Calon mahasiswa perlu bertanya, sejauh mana dan dalam kapasitas apa kesepakatan antara kedua institusi dilakukan, apakah ada perjanjian tertulis, manfaat apa yang bakal diperoleh mahasiswa dalam kerja sama ini.

Tim dan strategi pemasaran
Seperti layaknya di perusahaan, banyak perguruan tinggi mempunyai tim pemasaran khusus meski mereka kadang agak sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim marketing ini bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi, atau biro informasi. Di beberapa PTS swasta, tim pemasaran ini bekerja penuh waktu secara profesional dengan armada lengkap mulai dari staf relasi media, presenter, desainer brosur, sampai dengan petugas jaga pameran. Periode sibuk bagi tim ini biasanya dari Oktober sampai Mei, tetapi mereka bekerja sepanjang tahun.

Di luar periode sibuk, tim marketing melakukan pembenahan internal di perguruan tinggi. Mereka merancang prospektus, brosur, dan katalog dengan cetakan dan desain yang tidak kalah mewah dengan prospektus perusahaan multi nasional.
Selain itu, mereka juga mengoordinasi dosen dan wakil mahasiswa dari semua program studi yang ada dan melibatkan beberapa di antaranya dalam aneka kegiatan promosi di dalam maupun di luar kampus. Beberapa dosen pun tidak segan-segan menjalankan peran sebagai petugas promosi jurusan dalam kemasan seminar maupun pameran studi.
Selama periode sibuk, berbagai macam kegiatan promosi dilakukan, baik PTS maupun PTN. Kegiatan promosi yang berkaitan langsung dengan jurusan adalah lomba untuk siswa-siswi SLTA. Program studi Sastra Inggris, misalnya, menyelenggarakan lomba pidato, debat, membaca berita, atau menulis esai dalam bahasa Inggris. Program studi teknik
informatika merancang lomba desain web atau program software. Program studi desain menantang siswa SMA untuk berkreasi dengan berbagai macam desain. Acara-acara lomba ini juga memberi kesempatan menarik siswa-siswi SMA berkunjung ke kampus dan melihat-lihat fasilitas perguruan tinggi.

Selain lomba, beberapa perguruan tinggi juga menyelenggarakan open house. Ada yang melakukannya di kampus, tetapi ada pula yang menyewa hotel berbintang. Dalam open house ini, berbagai keunggulan pada tiap program studi dan di tingkat perguruan tinggi dipamerkan melalui presentasi, tayangan video, foto, dan contoh produk. Seakan tidak ingin kehilangan kesempatan, ajang open house juga dipakai untuk menerima pendaftaran dan melaksanakan tes masuk saat itu juga.

Kegiatan promosi tidak hanya dilakukan di kota tempat perguruan tinggi. Tim pemasaran juga melakukan perjalanan ke luar kota bahkan ke luar pulau dalam rangka "menjemput bola". Seleksi dan tes masuk juga bisa dilakukan di kota yang dikunjungi, sehingga siswa tidak harus jauh-jauh meninggalkan kota asal untuk berburu perguruan tinggi. Sekarang adalah era perguruan tinggi berburu calon mahasiswa.
Upaya pemasaran tidak hanya terbatas pada kegiatan promosi sesaat, tetapi juga strategi jangka panjang berupa program menjalin relasi dan kerja sama dengan SMA. Dalam beberapa tahun belakangan, para kepala dan guru bimbingan konseling di SMA menjadi orang penting yang diperhatikan dan dimanjakan. Perguruan tinggi menggelar
berbagai seminar tahunan dan mengundang mereka dengan menanggung semua biaya transportasi dan akomodasi.

Ada pula perguruan tinggi yang melakukan kerja sama secara berkesinambungan misalnya program pendampingan pelajaran teknologi informasi atau revitalisasi perpustakaan di SMA. Program kerja sama ini diharapkan bisa menanamkan brand awareness di kalangan guru dan siswa SMA dan membuat mereka mengingat perguruan tinggi itu untuk dipilih di kemudian hari.

Berbicara soal promosi, tidak ada kecap nomor dua. Masing-masing perguruan tinggi berupaya menampilkan keunggulan dan nilai jual. Kepala SMA/SMK, calon mahasiswa, dan orangtua perlu mencermati persaingan antar-perguruan tinggi dengan cerdas, bijak, dan mempelajari tiap tawaran dengan kritis agar bisa membuat keputusan dan pilihan yang paling baik dan sesuai di antara semua alternatif yang ada.

LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI

Dalam bukunya, The Outliers, Malcolm Gladwell membeberkan kisah orang-orang sukses dan gagal. Beberapa di antaranya Bill Gates, Bill Joy (Sun Microsystem), dan Steve Job (Apple Computer).

Salah satu faktor pendukung keberhasilan seseorang adalah kesempatan. Banyak dari orang sukses (misalnya Bill Gates, Bill Joy, and Paul Allen) dalam The Outliers berasal dari kelas sosio ekonomi menengah dan atas sehingga bisa mengakses pendidikan bermutu.

Sebaliknya, saat kesempatan itu ditiadakan, seorang dengan IQ 195, Chris Langan (bandingkan: IQ Albert Einstein 150) harus putus kuliah karena ketiadaan biaya dan berakhir sebagai buruh tani dengan berbagai kepahitan. Di antara kedua titik ini, ada kisah Steve Jobs dari keluarga sederhana yang berhasil mengubah hidupnya dan dunia melalui perusahaan Apple Computer. Meski tidak berasal dari keluarga kaya, Steve Jobs hidup di Silicon Valley dan bergaul dengan para insinyur Hewlett Packard. Pesan dari kisah-kisah ini, kesempatan merupakan pintu awal menuju keberhasilan.

Salah satu fungsi pendidikan adalah memberi kesempatan itu untuk mengurangi jumlah orang yang berakhir seperti Chris Langan dan Steve Jobs. Jika The Outliers ditulis dalam versi Indonesia, pasti ada banyak kisah Chris Langan dan Steve Jobs ala Indonesia yang bisa menjadi latar belakang pembuatan kebijakan pendidikan atau keputusan negara maupun institusi. Kebijakan yang masih menuai kontroversi adalah UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ketika sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik dan tidak diharapkan memberi keuntungan material, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pada era ini, ada pergeseran cara pandang dan praktik terhadap sektor-sektor itu.

Liberalisasi pendidikan

Pasar sebagai salah satu pranata civil society dikendalikan pelaku bisnis. Saat pelaku bisnis menjelajahi dan menguasai sumber-sumber daya dalam pasar, lahan-lahan yang secara historis merupakan usaha untuk kemashalatan orang banyak sehingga diselenggarakan oleh negara seperti pendidikan dan kesehatan, kini mulai menjadi garapan pelaku bisnis.

Salah satu dampak positif UU BHP adalah transformasi di PTN. Jerat birokrasi yang berwujud kurang efisien mulai bisa diperbaiki. Sementara itu kalangan yang masih memercayai nilai-nilai sosial demokratis mengkhawatirkan terjadinya liberalisasi pendidikan. Meski Pasal 4 UU BHP sudah mengatur bahwa badan hukum pendidikan bersifat nirlaba, fenomena liberalisasi pendidikan tinggi sudah amat terasa. Berbagai jalur yang disediakan PTN—mulai dari jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) hingga jalur khusus dan mandiri—memberi berbagai paket dengan prosentase masing-masing.

Yang dikeluhkan adalah alokasi penerimaan dengan biaya minimal kian makin dikurangi prosentasenya, Sedangkan alokasi penerimaan melalui jalur khusus atau mandiri, bertambah. Praktik ini dilakukan PTN guna menambah jumlah pendapatan sehingga bisa memperbaiki mutu. Formula alokasi disusun tiap PTN, dengan melihat kepentingan institusional PTN itu, dengan standar mutu yang ingin dicapai dan biaya yang harus ditanggung. Padahal alokasi jalur subsidi dan jalur khusus ini tidak sesuai dengan prosentase penduduk miskin di Indonesia. Akibatnya, kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk meniti jalur keberhasilan seperti Steve Jobs makin tertutup.

Para penganut nilai-nilai sosial demokratis berpendapat UU BHP tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung melindungi yang kuat. Dikhawatirkan bertambahnya jumlah orang macam Chris Langan dan Lintang (dalam Laskar Pelangi) yang berpotensi tinggi tetapi tidak mendapat kesempatan pendidikan, akan menjadi enerji negatif di masyarakat.

Alternatif Solusi

Sementara perdebatan tentang subsidi negara untuk PTN atau PTS masih berlangsung dan mungkin tidak akan pernah reda, kisah-kisah Chris Langan dan Lintang akan terus terjadi di seluruh Nusantara. Dana subsidi pemerintah memang sudah dikucurkan ke berbagai PTN dan PTS, di antaranya melalui program hibah dan kompetisi. Dua alternatif solusi perlu dipertimbangkan guna meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi sambil tetap berjuang mencapai target mutu dan menjaga equilibrium antara layanan pendidikan tinggi sebagai entitas yang nirlaba dan eksploitasi pelaku bisnis dalam sektor pendidikan. (Dikotomi PTN an PTS tak lagi relevan saat mereka besaing memerebutkan ceruk pasar).

Alternatif pertama adalah memberi dan meningkatkan jumlah beasiswa pemerintah melalui lembaga mandiri. Lembaga kepanjangan tangan pemerintah ini bertugas menseleksi kelayakan calon penerima beasiswa secara jujur dan transparan. Penyaluran beasiswa bisa dilakukan melalui PTN maupun PTS. Namun calon penerima bebas memilih PT mana yang dituju (asal sudah terakreditasi, misalnya). Melalui cara ini, PTN dan PTS diberi kesempatan untuk bersaing secara adil guna meningkatkan mutu dan menjadikan lembaga pilihan mahasiswa.

Alternatif kedua melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini beberapa korporasi melalui lembaga filantropis (di antaranya Tanoto Foundation, Djarum, Sampoerna Foundation dan lainnya), sudah cukup berperan dalam ikut mencerdaskan bangsa dengan memberi beasiswa bagi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Kontribusi dari korporasi ini perlu dihargai. Apapun motifnya, kontribusi ini sudah terbukti menciptakan banyak Steve Jobs yang bisa berperan bagi bangsa dan masyarakat.

Penghargaan dari pemerintah berupa pemotongan pajak bagi sumbangan filantropis untuk pendidikan setara dengan zakat, akan memicu lembaga lain maupun individu melakukan tindakan serupa.

Tingkatkan SDM, Guru Butuh Pendidikan Tinggi Jarak Jauh

JAKARTA, SELASA - Pendidikan tinggi jarak jauh dengan kualitas akademik yang baik sangat dibutuhkan untuk peningkatan mutu sumber daya manusia, terutama kalangan guru. Namun, pilihan guru untuk menikmati layanan pendidikan tinggi masih terbatas akibat minimnya infrastruktur pendidikan. Padahal ada satu juta lebih guru yang harus meningkatkan kualifikasi pendidikan diploma IV atau S-1 hingga tahun 2015.

 

"Para guru ini kan diwajibkan untuk mencapai kualifikasi akademik D-IV/S-1, tetapi disyaratkan jangan sampai melalaikan kewajiban mengajar. Ini kan dilema buat guru. Solusinya ya harus ada pilihan pendidikan tinggi jarak jauh yang beragam dengan tetap mengutamakan kualitas akademik," kata Sulistyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Indonesia di Jakarta, Selasa (2/9).

Menurut Sulistyo, pemerintah harus segera mengatur penyelenggaraan pendidikan jarak jauh, terutama untuk melayani guru. Jika mengandalkan Universitas Terbuka saja, kemampuannya terbatas.

 

Selain menyediakan infrastruktur yang mendukung pengembangan pendidikan jarak jauh, semisal teknologi informasi dan komunikasi, juga perlu disiapkan supaya layanan pendidikan ini juga menyediakan modul-modul yang bisa dipahami untuk belajar mandiri. Dengan demikian, pendidikan tinggi untuk peningkatan kualitas guru yang berdampak dalam pengajarannya di kelas bisa tercapai.  

 

Kemantapan UT di pusat itu belum tentu cerminan di daerah lain. Untuk tutor saja, masih ada yang guru SD-SMA yang kebetulan sudah S-1. Jadi perlu diatur mana perguruan tinggi yang siap dan mampu melaksanakan pendidikan jarak jauh. Itu harus dicek betul supaya terjamin kualitasnya. "Sebab, peningkatan kualitas akademik guru itu bukan untuk mengejar ijasah, tapi untuk membentuk guru yang bermutu sehingga pendidikan kita ada perbaikan," tambah Sulistyo

STRUKTUR PENDIDIKAN TINGGI

Bentuk Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

Akademi menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian tertentu.

Politeknik menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.

Sekolah Tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.

Institut menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang sejenis.

Universitas menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian tertentu.
 

Jalur Pendidikan

Struktur pendidikan tinggi di Indonesia terdiri dari 2 jalur pendidikan, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional.

Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, dan lebih mengutamakan peningkatan mutu serta memperluas wawasan ilmu pengetahuan.
Pendidikan akademik diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.

Pendidikan profesional adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, serta mengutamakan peningkatan kemampuan/ketrampilan kerja atau menekankan pada aplikasi ilmu dan teknologi. Pendidikan profesional ini diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.

Pendidikan akademik menghasilkan lulusan yang memperoleh gelar akademik dan diselenggarakan melalui program Sarjana (S1-Strata1) atau program Pasca Sarjana. Program pasca sarjana ini meliputi program Magister dan program Doktor (S2 dan S3).

Pendidikan jalur profesional menghasilkan lulusan yang memperoleh sebutan profesional yang diselenggarakan melalui program diploma (D1, D2, D3, D4) atau Spesialis (Sp1, Sp2).

Program pendidikan sarjana dan diploma merupakan program yang dipersiapkan bagi peserta didik untuk menjadi lulusan yang berbekal seperangkat kemampuan yang diperlukan untuk mengawali fungsi pada lingkungan kerja, tanpa harus melalui masa penyesuaian terlalu lama.

Program pendidikan pasca sarjana S2 (Magister), S3 (Doktor), dan Spesialis (Sp1, Sp2) merupakan program khusus yang dipersiapkan untuk kegiatan yang bersifat mandiri. Pendidikan S2 dan S3 lebih menekankan pada penelitian yang mengacu pada kegiatan inovasi, penelitian dan pengembangan, Sedangkan pendidikan spesialis ditujukan untuk meningkatkan pelayanan bagi pemakai jasa dalam bidang yang bersifat spesifik.

Rabu, 11 Maret 2009

MELAWAN LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI

1. Pendahuluan

Liberalisasi (kapitalisasi) pendidikan tinggi merupakan penerapan sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan tinggi, dengan modus utamanya integrasi pendidikan tinggi dengan pasar global. Liberalisasi pendidikan tinggi berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktornya, yaitu Multi National Corporation (MNC) yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat oleh WTO untuk terjun dalam arus globalisasi berdasarkan paham neoliberalisme.

Sebagai salah satu varian kapitalisme, neoliberalisme merupakan bentuk modern liberalisme klasik dengan 3 (tiga) ide utamanya; yaitu pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (yakni kebebasan dan tanggung jawab individu). (Adams, 2004). Implikasi dari perpaduan ide pasar bebas dengan marjinalisasi peran negara dan pengutamaan tanggung jawab individu, adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara dalam kegiatan ekonomi, termasuk pembiayaan pendidikan. Pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan dilegalkan dengan istilah lain yang menipu : "pembebasan pendidikan dari intervensi negara".

Di Indonesia, pelepasan tanggung jawab negara ini terwujud nyata sejak tahun 2000 ketika beberapa Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, UGM, ITB dan IPB diubah bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Dengan format BHMN, pembiayaan pendidikan PTN-PTN tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah. Akhirnya PTN-PTN itu harus kesana kemari mencari dana sendiri, antara lain melalui "jalur khusus" dalam menerima mahasiswa. Biaya masuk jadi naik mulai Rp 25 juta sampai Rp 150 juta. Bahkan untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Liberalisasi pendidikan tinggi ini harus dicermati dan dikritisi oleh semua pihak, khususnya mereka yang berwenang dan berkecimpung di dunia pendidikan tinggi. Mengapa? Ada setidaknya 2 (dua) alasan. Pertama, karena liberalisasi pendidikan merupakan suatu proses konspiratif (kongkalikong) yang jahat. Kedua, karena liberalisasi pendidikan menimbulkan dampak-dampak destruktif yang berbahaya.

2. Konspirasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Liberalisasi pendidikan tinggi tidak akan terjadi kalau tidak ada aktivitas aktor-aktor utama dan aktor pembantu yang saling bekerjasama dalam proyek globalisasi berdasarkan neoliberalisme sejak tahun 1980-an.

Padahal, globalisasi menurut Stiglitz (2003) merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya (Effendi, 2007). Karena itu, interdependesi seperti itu pasti lebih menguntungkan negara-negara kapitalis yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi, dan sebaliknya hanya menimbulkan kerugian bagi negara-negara Dunia Ketiga yang lemah. Tegasnya, bagi Dunia Ketiga termasuk Indonesia, globalisasi adalah kolonialisasi (Khor, 1995; Ling, 2000).

Globalisasi dengan demikian, tak berlebihan jika disebut bentuk mutakhir imperialisme Barat. Jeffry Sachs yang dikenal radikal dalam menanggapi globalisasi menilai bahwa globalisasi tak lain adalah bungkus baru dari developmentalisme yang merupakan episode lanjutan dari imperialisme yang gagal dalam bentuk awalnya (Prasetyantoko, 2001:15).

Oleh karena kerjasama dalam globalisasi ini adalah kerjasama dalam kejahatan, bukan dalam kebaikan, maka liberalisasi pendidikan tinggi kita sebut sebagai konspirasi alias kongkalikong. Allah SWT berfirman :

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran..." (QS Al-Ma`idah [5] : 2)

Konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi terwujud berkat ulah aktor-aktor utama dan aktor pembantu berikut ini (Wibowo, 2004; Mugasejati & Martanto, 2006; Nopriadi, 2007) :

1. Negara-negara kapitalis

2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia)

3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)

4. Pemerintah Dunia Ketiga

(1) Negara-Negara Kapitalis

Negara-negara kapitalis merupakan aktor utama dalam liberalisasi pendidikan tinggi. Mengapa? Sebab mereka akan banyak mengeruk untung sangat besar. Sofian Effendi (2007) menerangkan ada 3 (tiga) negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105).

Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20 % PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja dan merupakan 20 % dari ekspor total negeri kangguru tersebut. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.

Sofian Effendi (2007) menerangkan pula bahwa hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi.

(2) Lembaga-Lembaga Internasional

Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.

WTO akan teru menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

(3). Korporasi Multi/Trans Nasional (MNC/TNC)

Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.

Berbagai lembaga pendidikan tinggi luar negeri swasta (privat) dapat dianggap sebagai MNC/TNC yang akan turut serta masuk ke dalam kancah pendidikan tinggi di Indonesia.

WTO sendiri telah mengidentifikasi empat mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan online degree program, atau mode 1; (2) Consumtion abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri, disebut mode 2; (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, atau mode 3; (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal, atau mode 4.

Liberalisasi perguruan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.

(4). Pemerintah Dunia Ketiga

Masuknya kekuatan perusahaan multinasional dan imperialisme negara kapitalis dalam proyek globalisasi tidak akan berhasil tanpa ada penerimaan dan dukungan dari pemerintah negara dunia ketiga, entah secara sukarela atau terpaksa.

Pemerintah Indonesia (eksekutif), dan juga DPR (legislatif) sayang sekali secara sadar telah terlibat dalam konspirasi globalisasi ini. Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan meratifikasi semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali "jasa nonkomersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya."

Di samping langkah legal-formal itu, pemerintah dunia ketiga juga dapat dipersalahkan berkolaborasi dengan asing karena lemahnya mereka dalam mengelola negara. Liberalisasi pendidikan tinggi akan mudah mencari alasan untuk masuk Indionesia karena dua alasan : pertama, perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah. Kedua, secara umum mutu pendidikan nasional kita mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut yang hakikatnya lahir dari ketidakbecusan pemerintah, sering menjadi alasan untuk "mengundang" masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia.

Peran pemerintah sebagai aktor konspirasi global akan semakin jelas, kalau kita melihat berbagai perangkat undang-undang yang menguntungkan kaum kapitalis global, namun di sisi lain menyengsarakan rakyat Indonesia. Lihat misalnya adanya UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, dan yang sedang dibahas saat ini di DPR, yakni RUU BHP.

RUU BHP direncanakan akan disahkan sebagai UU tahun 2010. RUU BHP ini merupakan salah satu proyek Dikti, yaitu Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (loan) dari Bank Dunia. Jelas RUU BHP membawa kepentingan asing.

3. Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi pendidikan yang konspiratif tersebut, banyak membawa dampak negatif. Di antaranya adalah :

(1) Dampak ideologis : semakin kuatnya hegemoni idelogi kapitalisme-sekuler.

Hal ini akan diperkirakan terjadi, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar tranfer pengentahuan, melainkan juga transfer nilai-nilai atau keyakinan (doktrin). Sebagaimana pesantren melestarikan doktrin Islam seperti syariah, jihad, dan Khilafah, pendidikan tinggi yang mengalami liberalisasi juga akan membawa serta melestarikan doktrin-doktrin khasnya, yaitu nilai-nilai kapitalisme-sekuler, seperti kebebasan, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Khususnya ini akan terjadi pada bidang keilmuan sosial / humaniora. Program yang sering digunakan untuk menanamkan ideologi kufur ini adalah pertukaran pelajar/mahasiswa atau pemberian beasiswa. Joseph S. Nye dalam Soft Power (2004) mengutip mantan Menlu AS Collin Powell, bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi "diplomat" AS di kelak kemudian hari.

(2) Dampak politik : hancurnya kedaulatan negara untuk mengatur rakyatnya sendiri.

Globalisasi pendidikan tinggi walaupun bertujuan untuk memperbaiki mutu dan akses ke pendidikan tinggi, pasti merupakan gangguan terhadap kedaulatan Indonesia dalam mengatur salah satu tujuan kemerdekaannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemandirian bangsa ini, dalam perumusan kebijakan nasional untuk mengatur bidang pendidikan, mau tidak mau harus dikorbankan agar provider pendidikan tinggi komersial dari luar negeri dapat lebih leluasa masuk (baca : menjajah) ke Tanah Air.

(3) Dampak ekonomi : mahalnya biaya pendidikan.

Dampak yang paling mudah dilihat dan dirasakan dari proses kapitalisasi pendidikan tinggi adalah mahalnya biaya pendidikan. Survei membuktikan terjadinya peningkatan biaya pendidikan pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN. Contohnya di UI. Biaya DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) yang semual besarnya ahanya Rp 500 ribu meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 1,5 juta setelah UI menjadi BHMN.

(4) Dampak Sosial : terjadinya kesenjangan kaya miskin

Mahalnya biaya pendidikan akan memunculkan jurang peluang antara calon mahasiswa yang kaya dan yang miskin. Yang kaya akan lebih mudah masuk ke perguruan tinggi favoritnya karena dia punya uang. Sedangkan yang miskin terpaksa gagal. Maka dalam perspektif jangka panjang, akan terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Yang kaya akan makin kaya, yang terpisah oleh jurang yang dalam dengan yang miskin yang gagal mengakses pendidikan tinggi.

4. Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Liberalisasi pendidikan tinggi perlu dilawan karena menimbulkan banyak bahaya (dharar) seperti telah diuraikan. Padahal dalam kaidah fiqih dinyatakan :

Adh-Dharar yuzaalu

"Segala bentuk bahaya wajib dihilangkan."

Selain itu liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme yang hanya akan memperkuat dominasi kafir atas muslim. Hal ini tidak boleh terjadi. Firman Allah SWT (artinya) :

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman." (QS An-Nisaa` : 141)

Strategi perlawanannya secara garis besar adalah sebagai berikut :

Pertama, langkah politik (al-kifah as-siyasi) :

(1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.

(2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.

(3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.

(4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.

Kedua, langkah ideologi (ash-shira'ul fikri) :

(1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme).

Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.

(2) terhadap imperialisme.

Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa'idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme.

(3) terhadap ideologi Islam.

Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi.

(4) terhadap sistem pendidikan Islam.

Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging). [ ]

Pemerintah Tingkatkan Anggaran Pendidikan Tinggi

Pemerintah akan meningkatkan anggaran bantuan untuk 82 perguruan tinggi negeri dan sekitar 400 perguruan tinggi swasta, dari Rp 12,9 triliun menjadi Rp 13,5 triliun.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menyatakan pemerintah akan terus meningkatkan anggaran untuk biaya pendidikan di universitas meski mengembangkan konsep otonomi kampus dengan bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Otonomi kampus, kata dia, hanya untuk memberikan kewenangan lebih bagi universitas mengelola kampus bukan menyerahkan sepenuhnya pembiayaan operasional ke kampus.

Hingga kini lebih dari 50 persen biaya operasional kampus masih ditanggung oleh pemerintah. "Jadi jangan khawatir, jangan bilang (pemerintah) mau lepas tangan," kata Kalla pada temu wicara jarak jauh dengan mahasiswa di kampus Universitas Hasanuddin, Kamis.

Ia meminta mahasiswa dan masyarakat tidak mengkhawatirkan BHP karena konsep tersebut justru membuka ruang untuk inovasi sehingga pengelolaan kampus dapat lebih fleksibel.

Dalam temu wicara jarak jauh tersebut beberapa mahasiswa
mengeluhkan naiknya iuran pendidikan atau SPP yang mereka
tengarai sebagai akibat dari bentuk BHP bagi perguruan
tinggi.

Namun Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyatakan tidak ada hubungan antara BHP dengan kenaikan biaya kuliah. Kenaikan SPP adalah hal yang wajar karena biaya kebutuhan pendidikan memang terus meningkat.

Meski begitu Satryo mengatakan departemennya akan mengaudit kenaikan SPP di kampus yang mendapat bantuan dana pendidikan dari pemerintah. "Akan kami lihat kewajarannya. Kami cek semuanya bagaimana keuangannya,"

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Inggris

Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di Inggris telah dimulai sejak 1960-an ketika Council for National Academic Awards (CNAA) didirikan dengan tujuan memvalidasi program-program pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga non-universitas. Di era PM Margareth Thacther, ‘value for money’, merupakan isu utama dengan adanya gerakan ‘new public management’. Gerakan ini mengharuskan adanya pertanggungjawaban terhadap dana-dana publik yang dialokasikan ke perguruan tinggi. Pada era sebelum PM Margareth Thacther, perguruan tinggi di Inggris, yang seluruhnya merupakan perguruan tinggi pemerintah, tidak pernah tersentuh oleh inspeksi atau penilaian kinerja dari pihak luar. Sejak awal berdirinya sekitar abad 12, universitas-universitas di Inggris adalah institusi publik yang memiliki independensi dan otonomi penuh.

Gerakan ‘value for money’ yang dicanangkan oleh PM Margareth Thacther mengharuskan dana-dana publik digunakan secara efisien dan efektif, termasuk dana-dana yang dialokasikan ke universitas yang sebelumnya tidak pernah dinilai secara eksternal oleh Pemerintah. Pada tahun 1987 Pemerintah Inggris menerbitkan White Paper 1987: Higher Education: Meeting the Challenges yang menjadi dasar dikeluarkannya kebijakan bahwa universitas harus dinilai secara eksternal oleh Pemerintah yang mencakup tiga kriteria penilaian yaitu: standar akademik, mutu pembelajaran dan pencapaian mahasiswa.

Untuk mengimplementasikan kebijakan ini pada tahun 1988 dibentuklah CVCP atau Council for Vice Chancellor and Council for Vice Principal atau Dewan Rektor yang merumuskan tentang academic standards serta academic audit untuk menilai sistem pengendalian mutu dari setiap perguruan tinggi.

Pada tahun 1991 Pemerintah Inggris mengeluarkan White Paper 1991: Higher Education – a New Framework. White paper ini merekomendasikan adanya satu sistem untuk pendidikan tinggi (sistem non-universitas, seperti akademi, politeknik atau institut, dijadikan universitas) untuk memudahkan struktur pendanaan. Lembaga CNAA yang bertugas mengontrol mutu lembaga non-universitas dibubarkan.

Untuk menindaklanjuti ini pada tahun 1992 dibentuk Higher Education Quality Council (HEQC) oleh Pemerintah yang diberi wewenang mengalokasikan dana publik untuk universitas berdasarkan hasil penilaian eksternal terhadap mutu universitas yang bersangkutan. HEQC meneruskan kegiatan audit akademik yang dilakukan oleh CVCP dan memperluas kriteria yang mencakup: programmes of study; teaching, learning and communication; academic staffs; assessment and classification procedures, verification, feedback and enhancement; serta promotional materials.

Pada tahun 1997 academic audit dihentikan, karena setelah dievaluasi terdapat berbagai masukan dan kritikan dari kalangan perguruan tinggi. Kritikan yang utama adalah academic audit terlalu memfokuskan pada pemeriksaan terhadap dokumentasi. Untuk itu dilakukan perubahan penekanan ke arah ‘verifikasi terhadap institutional claim’. Aspek yang dinilai dibedakan menjadi aspek mayor dan aspek minor. Aspek mayor terdiri dari strategi institusi untuk mencapai tujuan pendidikan (quality strategy) serta kebijakan institusi untuk mempertahankan dan meningkatkan standar akademik. Dua aspek minor adalah infrastruktur untuk pembelajaran dan komunikasi internal dan eksternal. Audit Akademik digantikan dengan ‘quality assessment’.

HEQC menerbitkan praktik baik atau good practice guidelines yang meliputi overall quality framework, students’ entry, quality of students experience, student outcomes, credit-based learning, guidance and learner support, and postgraduate research degrees.

Pada tahun 1997 HEQC dibubarkan dan dibentuklah Quality Assurance Agency (QAA) pada tahun yang sama dan bertugas meneruskan fungsi HEQC. Yang menjadi dasar pembentukan ini adalah laporan dari Dearing Committee pada tahun 1996. Secara ringkas tugas utama dari QAA adalah (1) merancanang proses penilaian mutu (quality assessment process) dan (2) mengembangkan infrastruktur yang mendasarinya. Pada tahun 2000, QAA menerbitkan dokumen yang berjudul ‘New Quality Framework’ yang secara ringkas berbunyi:

Subject benchmark information, programme specification that spell out outcomes to be achieved, and a qualifications framework based on clear and explicit descriptors of level are the new means of defining standards in higher education. Together, they have a function similar to that of a code defining professional standards, in that they tell the individual client (the student) and the wider interested public (especially the employer) what they can reasonably expect from a professional service. Universities and their teachers must deliver to those standards if they are to convince the world that they are true professionals (Randall, 2000: 166)

The basic notion was that institutional quality assurance would be judged against a number of rameworks: one or more qualification frameworks, ‘benchmark statements of subject threshold standards’ and codes of practice. These sector-wide frameworks would be supplemented by local specifications setting out the intended purposes and outcomes of each programme of study and by ‘progress file’ recording individual students’ achievements (Brown, 2004)

Sejak tahun 1997, QAA melaksanakan external quality assessment untuk setiap program studi. Selama pelaksanaan, beberapa kritikan yang masuk adalah bahwa proses external quality assessment membutuhkan informasi yang sangat banyak sehingga memberatkan universitas ketika akan dinilai. Oleh karena itu, sejak tahun 2000, diusulkan perbaikan cara penilaian yang meringankan pihak universitas. Penilaian secara eksternal tidak lagi menilai secara langsung mutu program studi, akan tetapi lebih ke arah memverifikasi penilaian mutu pendidikan yang dilakukan secara internal, kemudian hasil dari penguji eksternal, mempelajari umpan balik dari mahasiswa, dosen dan karyawan, serta pengamatan proses di institusi secara keseluruhan. Siklus penilaian adalah setiap 6 tahun.

Pada sekitar tahun 2000an muncul beberapa lembaga yang terkait erat dengan mutu pendidikan tinggi, seperti Institute for Learning and Teaching (ILT), Learning Teaching Society Network (LTSN), Higer Education Staff Development Agency (HESDA), Teaching Quality Enhancement Committee (TQEC). Munculnya berbagai lembaga ini ternyata tidak disertai dengan peran dan tugas yang jelas, sehingga muncul berbagai duplikasi. Pada tahun 2003, dimunculkan sebuah wacana baru untuk membentuk lembaga baru yang menggantikan fungsi QAA dan merupakan peleburan dari berbagai institusi yang terkait dengan peningkatan mutu pendidikan tinggi, yaitu ‘Academy for the Advancement of Learning and Teaching in Higher Education’

Institusi Pendidikan Tinggi

Di Jerman terdapat 323 institusi pendidikan tinggi yang tersebar di seluruh negeri (per 2001). Mereka yang tertarik untuk studi di Jerman dapat memilih antara universitas dan institusi yang berstatus universitas (misalnya Universitas Teknik), Fachhochschule (universitas ilmu terapan) atau SekolahTinggi Seni, Musik dan Film. Institusi pendidikan tinggi umum terbuka bagi mahasiswa dari semua negara.

eputusan mengenai jenis institusi pendidikan tinggi yang tepat bagi Anda tergantung sebagian besar pada apa tujuan studi Anda. Anda harus memperjelas hal ini lebih dulu, sebelum mulai memilih institusi yang paling tepat bagi Anda.

Jenis Perguruan Tinggi di Jerman

Sebelum memulai studi, Anda harus dapat menjawab pertanyaan berikut:

  • Apa jenis perguruan tinggi yang tepat bagi Anda? Apakah Anda lebih tertarik pada perkuliahan yang lebih pendek dan berorientasi pada praktek seperti di Fachhochschule atau Anda lebih memilih kuliah di Sekolah Tinggi Seni dan Musik?
  • Apakah Anda berencana memperoleh gelar di Jerman atau hanya ingin menyelesaikan sebagian dari studi Anda di Jerman (misalnya satu tahun) tanpa memperoleh gelar di Jerman?
  • Atau mungkin Anda telah lulus sarjana di Indonesia dan sekarang hendak melanjutkan ke pascasarjana di Jerman?
  • Apakah gelar Diplom, Magister, Staatexamen (ujian negara), atau gelar DiplomFachhochschule diakui sebagai kecakapan profesional di Indonesia? Atau Anda lebih memilih studi dengan gelar yang diakui secara internasional – Bachelor atau Master?

Struktur Pendidikan Tinggi Tradisional Jerman

I. Universitas

Universitas Jerman bukan hanya tempat berlangsungnya pendidikan dan pelatihan, namun juga tempat dilaksanakannya penelitian murni dan terapan yang independen. “ Pendidikan dan ilmu pengetahuan murni “ menuntut agar mahasiswa terlibat kerja akademis yang disiplin.

Universitas memberikan gelar akademis Diplom, Magister,Bachelor, Master serta Doktor. Universitas berhak menganugerahkan Habilitation, kecakapan mengajar bagi professor.

Jurusan yang dibuka di universitas mencakup kedokteran, ilmu pengetahuan alam, teknik, humaniora, hukum, teologi, ekonomi/business administration, dan ilmu sosial, pertanian dan kehutanan.

Struktur Pendidikan di Universitas

Karena di universitas lebih menekankan pada penelitian, masa studi yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan studi di FH (10-12 semester). Terdiri dari 4 semester masa studi dasar (Grundstudium) untuk pendalaman teori yang ditutup dengan ujian „Vordiplom“. Kemudian dilanjutkan dengan studi utama atau Haupstudium sekitar 4-6 semester. Keseluruhan masa studi ditutup dengan ujian lisa dan tertulis untuk memperoleh gelar Diplom atau Magister. Gelar Diplom atau Magister ini setingkat dengan gelar Sarjana Strata 2.

II. Fachhochschule (FH)

Jika mahasiswa asing tidak menemukan kesulitan membayangkan apa itu universitas atau universitas teknik, Fachhochschule adalah elemen istimewa dengan tradisi singkat dalam sistem pendidikan tinggi Jerman. Namun FH cepat terkenal. Seperempat dari seluruh mahasiswa sekarang memutuskan untuk studi di FH. Jumlah mahasiswa yang studi di FH meningkat 5 kali lipat sejak pertama kali dibentuk. Lebih singkatnya jalur menuju dunia kerja menjadi hal yang menarik mahasiswa untuk studi di FH. Studi di FH lebih fokus pada praktek. Penyusunan perkuliahan yang ketat, pengajaran dalam kelompok yang kecil, penilaian terus-menerus melalui ujian, dan pilihan mata kuliah yang berorientasi pada kebutuhan dunia kerja memungkinkan masa studi di FH lebih singkat dibanding di universitas.

Jadi di FH berlangsung pengajaran dan juga penelitian. Namun, penelitian yang berfokus pada praktek dan lebih berbasis aplikasi. Oleh karena itu, jurusan yang berfokus pada teori secara absolut tidak ditawarkan di FH. Jurusan yang dibuka diarahkan khususnya untuk mencetak profesional yang mengenyam pendidikan praktis dan akademis dalam bidang teknik, business administration, desain, dan pelayanan sosial. Gelar akademis yang diberikan pada umumnya adalah Diplom (FH).

Struktur Pendidikan di Fachhochschule

Fachhochschule (FH) yang menekankan pengajarannya pada praktek, memungkinkan masa studi yang relatif lebih singkat dibanding di universitas, yaitu sekitar 8 semester. Terdiri dari masa studi dasar (Grundstudium) 3 semester yang ditutup dengan ujian Vordiplom. Kemudian dilanjutkan dengan semester praktek selama satu semester/6 bulan. Setelah itu masuk ke masa studi utama (Haupstudium). Keseluruhan masa studi ditutup dengan ujian lisan dan tertulis untuk memperoleh gelar Diplom (FH).

III. Sekolah Tinggi Seni, Musik dan Film

Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan di Sekolah Tinggi Seni, Musik dan Film di Jerman bertujuan mempersiapkan lulusannya untuk berkerja sebagai artis atau musisi profesional, profesional di bidang desain, film dan media serta pengajar di bidang artistik. Secara substansi pendidikan di Sekolah Tinggi Seni, Musik dan Film berbeda dengan di universitas.

Untuk penerimaan masuk, pelamar harus membuktikan bahwa dia telah memiliki kualifikasi masuk ke perguruan tinggi (contohnya surat tanda tamat belajar) yang setara dengan kualifikasi Jerman. Di samping itu, pelamar harus menguasai bahasa Jerman dengan baik sebab secara umum bahasa pengantar di Sekolah Tinggi Seni, Musik dan Film adalah bahasa Jerman. Pada umumnya pelamar yang memenuhi syarat kemudian harus mengikuti tes kemampuan atau mempresentasikan contoh karyanya. Namun demikian, Anda sebaiknya menanyakan langsung ke masing-masing perguruan tinggi, karena syarat masuk dapat berbeda antara satu dengan yang lain.

Masa studi berkisar antara 8-12 semester tergantung dari jurusan yang diambil. Gelar yang diberikan pada umumnya adalah Diplom.

International Degree Programs

Beberapa tahun terakhir beberapa universitas dan juga Fachhochschule menawarkan jurusan yang memberikan gelar internasional. Jurusan ini didesain untuk menarik mahasiswa asing dan Jerman yang mencari pendidikan dengan dimensi internasional. Jenjang studi yang ditawarkan meliputi S1, S2 dan S3 (Bachelor, Master, Ph.D). Jurusan yang ditawarkan oleh institusi pedidikan tinggi Jerman memenuhi standar berikut:

  • Standar akademis yang tinggi
  • Program studi yang tertata rapi
  • Gelar internasional, seperti Bachelor dan Master
  • Perkuliahan diselenggarakan dalam bahasa Inggris, seringkali selama tahun pertama
  • Kursus bahasa Jerman ditawarkan sebelum dan selama studi
  • Pelayanan spesial: pelayanan dukungan akademis dan pribadi oleh tutor dan mentor, konsultasi studi yang intensif, kelas yang kecil, dll.
  • Kesempatan untuk menyelesaikan satu periode studi di universitas partner di luar negeri

Jika Anda ingin mengetahui secara pasti apakah suatu jurusan sesuai dengan Anda, silakan mengunjungi situs www.daad.de/idp untuk mengetahui informasi lebih detil. Situs ini memuat deskripsi singkat dari setiap jurusan, syarat masuk, bahasa pengantar, biaya, dll.

Perbandingan struktur gelar tradisional dan internasional di Universitas

Perbandingan struktur gelar tradisional dan internasional di Fachhochschule

Profesi Lulusan Pendidikan Tinggi Seni

Karya-karya seni pada dasarnya merupakan hasil penafsiran kehidupan yang dilakukan oleh para senimannya melalui proses kreatif. Bagi seniman, menciptakan karya seni pada hakikatnya sama dengan tindakan menafsirkan realitas kehidupan beserta penilaian terhadapnya. Oleh karena itu, dalam karya seni dimungkinkan adanya makna yang bersentuhan dengan cara merasa, berfikir, bersikap, dan bertindak baik pada tataran realitas personal maupun realitas sosiokurtural.


Hakikat Seni

Karya-karya seni pada dasarnya merupakan hasil penafsiran kehidupan yang dilakukan oleh para senimannya melalui proses kreatif. Bagi seniman, menciptakan karya seni pada hakikatnya sama dengan tindakan menafsirkan realitas kehidupan beserta penilaian terhadapnya. Oleh karena itu, dalam karya seni dimungkinkan adanya makna yang bersentuhan dengan cara merasa, berfikir, bersikap, dan bertindak baik pada tataran realitas personal maupun realitas sosiokurtural.

Seni adalah ekspresi individual dan ekspresi kurtural, karena senimannya tidak hanya sebagai subjek personal, tetapi sekaligus sebagai subjek kolektif. Seniman terikat pula oleh latar budayanya yang khas dalam kondisi budaya Indonesia bersifat plural dan multikultural.

Pendidikan seni dilandaskan pada pengakuan terhadap seni dan budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan manusia, ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan pengetahuan. Pendidikan seni menjadi pendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berfikir kreatif, inovatif dan sadar seni budayanya.

Paradigma Pendidikan Tinggi Seni

  1. Menekankan keseimbangan antara bobot kesenimanan dan bobot keilmuan, serta kependidikan
  2. Menekankan kurikulum yang berbasis kompetensi
  3. bersifat multikurtural, sehingga dialog antar budaya lebih dimungkinkan baik lokal-lokal maupun lokal-global
  4. Mensinergikan antara tradisi budaya lokal dan pengayaan abstraksi (Filosofi)
  5. Menghasilkan lulusan yang berperan sebagai agen perubahan budaya (agents of change ).

Visi Pendidikan Tinggi Seni

Pendidikan tinggi seni mampu menciptakan, memelihara dan mengembangkan seni, mampu memperkaya nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan hidup dalam dimensi kultural dan spiritual serta peka dan tanggap terhadap fenomena perubahan.

Misi Pendidikan Tinggi Seni

  1. Menggali, mengkaji dan mengolah potensi pluralitas budaya lokal sebagai modal agar mampu bersaing dalam percaturan global.
  2. Membangun sikap kritis, reflektif dan terbuka terhadap beragam pergeseran paradigmatik keilmuan, teknologi dan keprofesian dalam bidang seni, serta peduli terhadap permasalahan dalam masyarakat dan lingkungan hidup.
  3. Meningkatkan pengalaman berkesenian melalui kreasi dan apresiasi seni yang bermutu.

Pendidikan seni sebagai sarana aktualisasi diri penting bukan saja untuk menyiapkan seniman pelaku dan pencipta, peneliti dan kritikus seni, tetapi dan terutama bagi pendidik atau guru seni sebagai bekal mendidik melalui seni untuk menyiapkan penikmat seni yang memiliki sensibilitas dan mampu memahami kedalaman sifat manusia.

Tujuan Pendidikan Tinggi Seni

Berdasarkan visi dan misi pendidikan tinggi seni bertujuan untuk menghasilkan sarjana / ilmuan / tenaga profesional / guru bidang seni yang peka dan tanggap terhadap masalah budaya melalui berbagai jalur dan jenjang pendidikan tinggi dengan kompetensi sebagai berikut :

  1. Mampu mencipta dan mengekspresikan beragam gagasan ke dalam bentuk karya seni.
  2. Mampu mengkaji dan menganalisa beragam fenomena seni dan budaya
  3. Mampu menyajikan karya seni secara kreatif, inovatif dan profesional
  4. Mampu melaksanakan proses belajar mengajar bidang seni dan budaya secara efektif
  5. mampu mengelola beragam kegiatan seni dan budaya

Berbekal kompetensi tersebut, setiap lulusan memiliki kemampuan untuk mrnyikapi seni, menjaga keserasian dan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat terhadap seni dan penerimaan seni sebagai bagian kehidupan budaya masyarakat. Disamping itu lulusan juga mampu mempertanggungjawabkan karyanya secara etik, moral dan akademik.

Profesi Dalam Bidang Seni

  1. Pencipta seni, memiliki kemampuan menuangkan ide dan konsep seni ke dalam berbagai bentuk karya seni
  2. Pengkaji seni, memiliki kemampuan untuk menganalisa beragam fenomena sosial budaya dan menuangkan hasil analisis dan interpretasinya ke dalam karya tulis ilmiah bidang seni
  3. Pengelola, memiliki kemampuan manajerial (pengelolaan) dalam berbagai kegiatan seni dan budaya
  4. Penyaji seni, meimiliki kemampuan menampilkan karya seni secara kreatif, inovatif dan profesiaonal
  5. Guru seni, memiliki kemampuan untuk melaksanakan dan mengelola proses belajar mengajar bidang seni dan budaya secara profesional.