Tampilkan postingan dengan label 6. Pendidikan Keagamaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 6. Pendidikan Keagamaan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Mei 2009

HARI KEAGAMAAN MEMBANGUN KERUKUNAN

Sam vo manaamsi sam vrataa.
Sam aakuutir namaamasi.
Amii ye vivrataa sthana.
Taan vah sam namayaamsi.
(Atharvaveda III 8.5)

Maksudnya:
Aku menyatukan pikiran-pikiranmu, gagasan-gagasanmu dan tindakan-tindakanmu. Kami mengantarkan para pelaku kejahatan menuju jalan yang benar.

SETELAH ledakan bom di Kuta 12 Oktober 2002 terdapat banyak hari raya keagamaan yang perayaannya sangat berdekatan. Bulan November 2002 umat Hindu merayakan Galungan dan Kuningan yakni 20 dan 30 November 2002. Belum beberapa lama yakni tanggal 6 dan 7 Desember umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri. Dalam bulan Desember juga tanggal 25 dan 26 umat Kristiani merayakan hari raya Natal. Umumnya semua hari raya keagamaan itu memiliki makna kesucian sesuai dengan ajaran agama tersebut.

Salah satu makna kesucian itu adalah melakukan introspeksi. Sejauh mana perjalanan hidup kita ini. Sejauh mana pula kita melakukan ajaran suci keagamaan itu dengan sebaik-baiknya. Demikian pula sejauh mana kita telah melakukan perbaikan-perbaikan dalam hidup kebersamaan kita di dunia ini. Apakah sudah kita melakukan upaya-upaya mulia secara bersama di dunia ini dalam membangun kehidupan bersama yang kondusif.

Manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan yang sama dan berbeda-beda. Meskipun semua manusia memiliki badan jasmani, tetapi keberadaan badan jasmani itu berbeda-beda satu sama lainnya. Demikian juga rohani. Semua manusia memiliki rohani, tetapi keadaan rohaninya juga berbeda-beda. Karena itu, Mantra Atharvaveda yang dikutip di atas ini mengajarkan agar umat manusia terus berupaya menyatukan pikirannya, gagasannya dan tindakannya.

Melalui hari raya keagamaan itu setiap kelompok umat beragama menjadikan hari raya keagamaan itu sebagai momentum untuk mengembangkan pikiran, gagasan dan langkah untuk membangun kebersamaan yang sejati. Akan sangat baik sekali kalau dapat dihindari merayakan keagamaan dengan cara-cara yang bersifat eksklusif. Kesucian dan keluhuran ajaran agama yang kita anut jangan dijadikan sumber pendorong untuk memunculkan sikap eksklusivisme.

Sikap eksklusivisme akan mudah mendatangkan kesan sepertinya merendahkan yang lain. Kalau pihak lain memiliki kesempatan maka akan membalas dengan sikap eksklusivisme. Tentunya mereka yang menonjolkan sikap eksklusivisme itu adalah mereka yang umumnya mudah terpancing karena lemahnya daya tahan mental. Karena itu, kesucian dan keluhuran ajaran agama yang diyakini itu jangan dijadikan ajang untuk pamer kelebihan.

Jadikanlah kesucian dan keluhuran ajaran agama yang diyakini sebagai kekuatan untuk meningkatkan spiritualitas diri, meningkatkan loyalitas dan untuk disinergikan pada berbagai aspek kehidupan. Peningkatan spiritualitas diri itu akan membawa tranformasi diri ke arah yang makin baik. Dalam hubungannya dengan di luar diri dalam kehidupan bersama akan menumbuhkan loyalitas pada berbagai perbedaan sebagai hal yang kodrati.

Kesucian dan keluhuran ajaran agama yang dianut itu seyogianya dijadikan unsur yang sangat potensial untuk mengatasi berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat manusia. Persoalan hidup itu ada yang bersifat individual ada juga yang bersifat sosial. Kesucian dan keluhuran ajaran agama yang diyakini itu jangan disalahgunakan untuk bersombong ria dengan menganggap agama orang lain lebih jelek.

Mereka yang menjadi sombong karena agama yang dianutnya umumnya disebabkan tidak menghayati agama yang dianutnya secara utuh. Atau pemimpin yang menginformasikan ajaran agama kepada umatnya tidak jujur atau salah menafsirkan kesucian dan keluhuran ajaran agama yang diyakinkan itu. Kalau eksklusivisme beragama dapat diredam melalui momentum hari raya keagamaan maka seluruh pemeluk agama akan dapat mempertemukan pikiran-pikiran dan gagasan-gagasannya yang mulia.

Dari pertemuan tersebut akan dapat ditetapkan langkah bersama membangun hidup yang harmonis namun tetap dinamis mengatasi dinamika zaman sesuai dengan irama kehidupan ini. Kalau eksklusivisme beragama dapat diatasi bersama-sama secara jujur maka anasir-anasir kekerasan yang mungkin ada di setiap umat beragama dapat diredam. Salah satu media untuk meredam anasir-anasir kekerasan itu agar jangan menjadi terorisme adalah lewat hari raya keagamaan. Kalau tetap hari raya keagamaan dijadikan media untuk menonjolkan eksklusivisme maka bibit-bibit kekerasan itu dapat saja muncul menjadi sikap terorisme yang memakai kedok agama.



* I Ketut Gobyah

sumber: BaliPost

Uji Publik RPMA Pendidikan Keagamaan Islam

Jumat, 27 Februari 2009
Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Sebanyak 45 orang peserta dari berbagai kalangan baik praktisi pendidikan dan pimpinan pondok pesantren bertemu di Hotel Ibis Tamarin Jakarta selama 2 hari (26-27 Februari 2008) untuk melakukan uji publik terkait dengan RPMA Pendidikan Keagamaan Islam.

Para peserta itu terdiri atas para pejabat BSNP, Dekan Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah dari UIN/IAIN, pimpinan pondok pesantren, Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantran, Kepala Seksi Kanwil serta para Kasubdit Direktorat Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.

Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI bekerjasama dengan Badan Standar Nasionanal Pendidikan (BSNP) ini bertemakan; “Menegakkan Eksistensi Pendidikan Keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional”.

Dalam pidato sambutan selaku penanggungjawab acara sekaligus sebagai Kasubdit Pendidikan Diniyah, H. Mahmud, M. Pd mengatakan bahwa sebenarnya yang diupayakan menjadi peraturan menteri agama ini ada 4 hal yaitu; Pertama, RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam yang meliputi diniyah athfal, ula wustho, ulya dan ma’had Aly, ini yang formalnya. Sedangkan yang non-formalnya; majlis ta’lim, taman pendidikan al Qur’an (TPA), diniyah takmiliyah (pengganti madrasah diniyah) dan pondok pesantren.

Kedua, RPMA terkait dengan standar isi dari pendidikan keagamaan tingkat dasar`dan menengah. Ketiga, RPMA tentang standar kompetensi lulusan terkait di dalamannya pendidikan dasar dan menengah. Dan keempat RPMA tentang ujian nasional pendidikan keagamaan Islam.

Namun, sambung H. Mahmud, yang diujipublikkan hanya tiga hal (kecuali RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam) karena hanya ketiga hal itulah yang menjadi kewenangan BSNP.

Sebenarnya pertemuan kali ini adalah untuk kali keempatnya setelah BSNP menyarankan sebelum dikeluarkannya rekomendasi terhadap ketiga point diatas maka harus diadakan uji publik terlebih dahulu, inilah latar belakang adanya uji publik kali ini, lanjut H. Mahmud. (pip)

Kurangnya Pendidikan Agama Picu Kekerasan

 Pendidikan menjadi kunci utama pembentukan kepribadian anak. Pertambahan usia anak memiliki konsekuensi pada perubahan proses pendidikan yang mereka terima. Oleh sebab itu, bertambah usia anak dan berubahnya perilaku mereka harus disertai pendidikan yang tepat sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Pendidikan agama menempati posisi yang vital menyertai proses pendidikan anak. Kurangnya pendidikan agama dapat memicu tindak kekerasan. Berikut perbincangan Reporter CMM Yulmedia dengan Hj. Nidalia Djohansyah Makki. Anggota Komisi II DPR RI:

Tindak kekerasan marak di mana-mana. Perilaku tersebut ternyata merambah pada lembaga pendidikan, IPDN misalnya. Mengapa demikian?
Peristiwa ini telah membuka mata kita, mengetuk pintu relung hati hati kita yang paling dalam, apakah dari bangku pendidikan yang ada sekarang ini ajaran yang menyangkut moral, pendidikan agama serta tuntunan yang menjunjung tinggi bahasa nurani dan kemanusiaan masihkah dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah yang bakal melahirkankan generasi-generasi untuk memimpin bangsa ini selanjutnya? Karena kita tahu, manusia tidak bisa hanya disuguhkan ilmu pengetahuan an sich (semata), melainkan juga perlu diimbangi dengan suguhan-suguhan untuk mengisi ruang-ruang spiritual yang ada pada diri masing-masing kita, seperti nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Intinya, ajaran-ajaran atau pendidikan berlandaskan keagamaan mesti selalu ada.

Berbicara pendidikan agama, faktor apa yang dapat mempengaruhi perkembangan keagamaan kita?
Perkembangan keagamaan anak, antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal di luar sekolah termasuk dalam keluarga. Kedua, faktor makanan yang disajikan orangtua untuk anak. Al-Qur-’an mengisyaratkan agar memakan makanan dan meminum minuman yang halal dan baik (halalan thayyiba). Makanan yang disediakan orang- tua adalah bahan dasar yang akan mengalir dalam darah anak. Jika makanan itu halal dan baik, maka akan baik pulalah akibatnya pada masa depan dan kehidupan anak. Ketiga, faktor doa yang menjadi kekuatan spiritual bagi perkembangan anak. Secara sederhana, doa adalah suatu harapan yang diwujudkan dalam ucapan dan perilaku. Ucapan buruk orangtua kepada anaknya bisa menjadi doa. Demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya, hindarilah kata-kata yang berisi laknatan kepada anak. Berikan ucapan dan kata-kata yang mulia untuk anak-anak. Tunjukan perilaku yang terpuji di hadapan anak. Hindari percekcokan di depan anak.

Dalam membimbing perkembangan keagamaan sang anak apa saja yang mesti diperhatikan?
Kita semua dilahirkan dalam keadaan suci. Lahir bersih tanpa noda apapun. Dalam al-Quran dijelaskan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur,” (QS an-Nahl [16]: 78). Sejak lahir itulah setiap individu mulai dihiasi warna-warni kehidupan, sehingga selama proses perawatan ini pula, tumbuh kesadaran cinta kasih sebagai fitrah yang dianugerahkan-Nya. Membimbing perkembangan keagamaan anak seyogyanya dilakukan sejak dini. Anak mulai belajar shalat dan mengaji, belajar berbuat kepada orangtua dan sesama manusia. Mendekatkan anak pada agama dapat pula dilakukan dengan mengondisikannya dalam ruang kehidupan yang serba teratur dengan tetap memelihara kebebasan dan kreativitasnya. Bimbinglah dan perkenalkan anak pada lingkungan yang religius. Ciptakan suasana rumah dalam nuansa yang religius, pilihlah lingkungan sosial yang memungkinkan anak belajar beragama, serta kondisikan anak untuk memilih sendiri sekolah dengan warna agama yang lebih dominan.

Hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam memberikan pendidikan keagamaan pada anak?
Keteladanan merupakan kunci keberhasilan dalam mendidik anak. Lebih-lebih pada usia yang penuh diwarnai dengan perilaku meniru. Anak akan melakukan apa yang dilakukan orangtua serta orang-orang yang ada di sekitarnya. Selain itu, didiklah anak atas dasar kasih sayang, penuh perhatian dan pengertian, serta dalam suasana dan sikap yang penuh kesabaran. Pesan-pesan al-Quran dalam memberikan pendidikan salat kepada anak, secara implisit sekaligus memaparkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak. Salat juga mengajarkan kebersihan, sebab salah satu syarat dalam melaksanakan salat adalah bersih dari hadats dan najis. Dengan salat juga kita dapat melatih anak menutup aurat dan menanamkan kesadaran jenis kelamin. Sebab salat mensyaratkan menutup aurat, dan ketika berjamaah terikat dengan ketentuan imam dan makmum. Mendidik anak salat juga sekaligus mendidik anak belajar membaca al-Quran, sebab dalam pelaksanaan salat terdapat kewajiban membaca surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya dalam al-Quran. Lebih penting lagi adalah membina dan membimbing anak dalam hidup berjamaah. Inilah, antara lain, prinsip pendidikan yang integratif, yang akan membawa anak didik memasuki dunia komprehensif.(CMM)

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:KPKMlO1ztJoJ:www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php%3Fid%3DA4263_0_3_0_M+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=82&hl=id&ct=clnk&gl=id

Pendidikan Keagamaan Ditingkatkan

 PARIAMAN, METRO--Pemerintah Kota Pariaman akan terus mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan keagamaan di tiap jenjang pendidikan, termasuk Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Taman Pendidikan Seni baca Al Qur’an (TPSA). Hal itu untuk menciptakan intelektualitas siswa dengan sumber daya manusia (SDM) keagamaan andal dan mandiri di masa datang.
Hal itu disampaikan Wali Kota Pariaman Drs H Mukhlis R MM kepada koran ini, kemarin. Katanya, kualitas pendidikan keagamaan yang baik akan mampu membentengi diri anak didik dari pengaruh dunia barat yang merongrong sendi-sendi agama dan budaya.

Menurutnya, perlu strategi yang matang dalam proses pembelajaran. Tiap guru dituntut tidak lagi menggunakan metode yang kaku, namun lebih bervariasi. Karena membangkitkan semangat belajar siswa hal yang paling penting. Sebab pada dasarnya siswa bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan api yang harus disulut.

Katanya, kegembiraan siswa dalam menerima pembelajaran perlu diperhatikan. Karena itu adalah dijadikan faktor penentu meningkatkan kualitas belajar. Guru dituntut mengoptimalkan peran siswa agar potensi mereka merasa dihargai. Pemahaman inilah yang wajib terus dikembangkan, karena dapat menciptakan kebahagiaan siswa. Sehingga mereka menjadi tekun belajar.

Dijelaskan Wako, kunci utama untuk meraih kesuksesan dalam mewujudkan hal tersebut di atas adalah dengan menciptakan komunikasi yang santun dalam setiap kegiatan belajar mengajar bahkan di luar kegiatan belajar mengajar. Di samping itu marilah terus di pupuk dan kembangkan komitmen dan budaya keteladanan bagi setiap insan pendidikan dalam mendukung terlaksananya program-program pendidikan.

Khusus untuk TPA/TPSA, katanya, untuk meningkatkan kualitasnya Pemko telah mengambil kebijakan mengangkat statusnya menjadi MDA. Tujuan tidak lain untuk mewujudkan pengembangan metode pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Saat ini Pemko bersama dengan DPRD tengah membahas Peraturan Daerah (Perda) Baca Tulis al Quran untuk memperkokoh penanaman nilai-nilai yang terkandung di al Quran itu. Terutama bagi generasi muda sebagai pelanjut tongkat estafet pembangunan.

Muhkis R mengimbau masyarakat untuk membangun keluarga yang baik. Karena pada keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental, tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia.
“Keluarga juga menentukan masyarakat, bangsa dan negara. Tentunya semuanya itu bisa tercapai, jika setiap keluarga dapat mewujudkan keluarga sejahtera,” tandasnya.(efa)

Ma’had Dan Kultur Keagamaan

Senin, 06 April 2009 07:50
Suatu saat, dulu saya pernah ketemu dengan seorang Kyai. Sebagaimana biasa kyai suka bercanda. Semula ia memberikan penghargaan pada pengembangan pendidikan modern, semisal perguruan tinggi. Dengan penghargaan itu, saya sudah menduga, Kyai ini akan segera memberikan kritiknya. Saya hafal benar, bagaimana cara Kyai berkomunikasi. Sosok ulama’, penyandang kearifan ini, selalu menjaga keseimbangan. Jika ia memuji, selalu dengan tujuan akan mengkritik dan begitu juga sebaliknya. Dengan komunikasi seperti itu, -----menjaga keseimbangan, maka tidak akan ada orang yang merasa tersinggung, apalagi tersakiti hatinya.

Saya seringkali dibuat heran oleh Kyai. Tidak sedikit kyai yang saya temui, mereka itu tidak pernah membaca buku-buku psikologi, sosiologi, dan juga antropologi. Tetapi, betapa mereka dalam praktek kehidupan sehari-hari menunjukkan pemahaman tentang teori social. Hal itu tampak misalnya, setidak-tidaknya dalam berkomunikasi dan juga dalam mengelola pendidikannya. Para Kyai umumnya memahami suasana kehidupan orang atau bahkan juga masyarakat. Memang, mereka tidak mengenal teori-teori social seperti teori structural fungsional, interaksionis simbolik, fenomenologi dan segala macam lainnya, tetapi dalam percakapan, seolah-olah mereka memahami itu semua. Lebih dari itu, nuansa teori-teori social tersebut digunakan dalam praktek berkomunikasi sehari-hari.

Pernah suatu saat saya diajak mempertandingkan antara lulusan pesantren asuhan kyai dengan mahasiswa perguruan tinggi di mana saya mengajarnya. Tentu saja dengan bercanda, saya katakan setuju dan siap. Kyai tersebut mengajak, agar kompetisi jangan dilakukan seperti ujian, yakni para peserta diberi soal kemudian disuruh menjawabnya. Saya pun juga masih menyetujui. Dia menawarkan lagi agar ujian berbentuk penugasan kerja lapang. Selain itu, santri dan mahasiswa berada pada tingkat yang sama ------kedua-duanya sama-sama memiliki masa studi yang sama, misalnya telah 4 tahun belajar di pondok atau di kampus. Atas tawaran itu pun saya menyetujui. Lalu kyai mengusulkan hal lain lagi, yang saya rasakan aneh, yaitu agar santri dan mahasiswa diseleksi terlebih dulu. Kyai akan memilih santrinya dalam kompetisi itu yang paling bodoh atau lembek, dan sebaliknya saya dianjurkan untuk memilih mahasiswa yang saya anggap paling pintar.

Dari tawaran yang terakhir itu, saya sudah semakin mengerti maksud kyai. Namun sebelum saya menebaknya, kyai menjelaskan dan sekaligus mengklaim bahwa santrinyalah yang akan memenangkan pertandingan itu. Kyai mengatakan bahwa santrinya akan dengan cepat berhasil berintegrasi dengan masyarakat. Sebab para santri memiliki piranti untuk melakukan itu semua. Misalnya, jika di masyarakat ------tempat kompetisi santri dan mahasiswa itu, ada kematian, maka santri dengan cekatan akan bisa merawat jenazah dari awal hingga pemakamannya. Selain itu santri di saat kegiatan ritual seperti adzan di masjid, imam masjid, khutbah jum’ah, menjadi pembawa acara di berbagai kegiatan bersama, santri akan trampil melakukan itu. Sedangkan mahasiswa, apalagi mahasiswa program studi umum, terhadap jenis kegiatan yang disebutkan dimuka, belum tentu bisa berpartisipasi. Akibatnya, mahasiswa akan kalah cepat berintegrasi dengan kehidupan masyarakat, apalagi di masyarakat muslim. Kyai juga menyebut, bahwa santrinya, sekalipun lembek menguasai dua bahasa asing, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Kyai rupanya juga tahu bahwa tidak semua mahasiswa telah berhasil menguasai bahasa asing.

Dialog tersebut sesungguhnya hanyalah semacam bercanda semata. Akan tetapi, peristiwa itu tidak pernah saya lupakan. Setelah melihat ke berbagai pesantren, memang harus diakui beberapa pesantren memiliki kelebihan dalam pendidikannya. Selama ini saya lihat kemenangan pesantren yang khas, adalah terletak dalam membangun kulturnya. Hal-hal yang berbau formal, apalagi formalitas dihindari oleh dunia pesantren, dan hal itu sangat berbeda dengan sekolah umum, termasuk di perguruan tinggi. Pembelajaran di perguruan tinggi, yang diutamakan adalah pemenuhan berbagai ukuran dan persyaratan yang telah ditetapkan. Misalnya, mahasiswa boleh mengikuti ujian bilamana sudah mengikuti kuliah minimal 80 %, menyusun makalah, terdaftar sebagai mahasiswa dan tidak kalah pentingnya dari itu adalah telah membayar SPP. Jika ujian sekali tidak lulus, maka diselenggarakan ujian susulan atau tambahan. Bahkan mahasiswa belum juga lulus, maka diselenggarakan short semester, lalu akhirnya juga lulus. Ini semua menggambarkan betapa lembaga pendidikan formal mengedepankan formalnya, dan bukan substansinya.

Saya pernah menghadiri undangan dari sebuah pesantren di desa, dalam acara haflah akhirussanah. Acara itu bentuknya semacam wisuda sarjana di perguruan tinggi. Saya benar-benar kaget dan juga kagum, tidak sebagaimana tradisi di perguruan tinggi, di forum haflah akhirussanah atau wisuda itu para santri yang sudah dinyatakan lulus masih harus menghadapi ujian, harus menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para kyai undangan yang datang dari berbagai pesantren. Para Kyai yang hadir dipersilahkan mengajukan pertanyaan apa saja, terkait dengan kitab yang telah dipelajari oleh santri di pesantren itu. Beberapa Kyai mengajukan pertanyaan dan ternyata dijawab secara tangkas oleh para santri yang sedang diwisuda. Tradisi seperti ini, tidak pernah saya lihat sekalipun di perguruan tingi. Bahkan ujian Doktor pun tidak sebebas ini.

Keanehan juga pernah saya lihat di pesantren lainnya. Keanehan yang saya maksud terkait dengan ujian. Ujian di pesantren diberikan secara lisan. Pertanyaan ujian tidak diberikan oleh ustadz atau Kyai melainkan oleh beberapa santri seniornya. Pertanyaan itu bebas diberikan, tentu dengan rambu-rambu, sebatas tentang isi beberapa kitab yang dijadikan pegangan santri. Ustadz hadir dalam forum ujian itu, tetapi perannya hanya sebagai pengamat. Ustadz yang hadir menilai kualitas pertanyaan dan sekaligus jawaban santri yang diuji. Bentuk ujian seperti ini mendorong penguji, yakni santri senior sekaligus santri yang sedang diuji untuk belajar keras. Ujian dengan cara seperti ini memang memerlukan waktu yang lama, tetapi banyak hal yang bisa diraih. Pelaksanaan ujian bisa lebih jujur, terbuka dan obyektif. Melalui ujian seperti ini mendorong para santri mempelajari ilmu dengan sungguh-sungguh. Tidak memerlukan biaya mahal dan dengan cara itu tidak akan dikhawatirkan para siswa berbuat curang. Bandingkan dengan ujian di sekolah umum, termasuk ujian nasional yang selalu memerlukan biaya mahal itu.

Memang tidak semua pesantrena memiliki keunggulan seperti itu. Keadaan pesantren sangat variatif, atau berbeda-beda tingkatannya. Mengkategorikan pesantren juga tidak mudah, karena corak dan kekuatan pesantrena tergantung pada kyainya. Akan tetapi dengan kebebasannya berkreasi di bidang pendidikan ini, tidak sedikit pesantren yang memiliki keunggulan dan melahirkan lulusan yang mampu menempati posisi-posisi penting dalam kepemimpinan negeri ini. Selain itu saya melihat kebanyakan pesantren memiliki kelebihan dalam membangun kultur keberagamaan. Para santri belajar di pesantren memang berniat memperdalam pengetahuan agama, mereka bertempat tinggal bersama kyai di pesantren tidak saja belajar tetapi juga membiasakan diri menjalankan kehidupan atas dasar ilmu yang dipelajari, maka jika mengikuti taksonomi Bloom ------kognitif, psikomototor dan afektif, maka ketiga aspek tersebut tersentuh oleh pendidikan pesantren.

Berbeda dengan itu adalah pendidikan formal. Dalam pendidikan ini disusun mekanisme yang sedemikian ketat, sehingga pendidikan menyerupai mesin. Di sana ada input, transformative dan kemudian menghasilkan output. Pendidikan juga dijalankan secara massal, padahal juga disadari bahwa setiap manusia bersifat unik. Oleh karena pendidikan dijalankan secara formal, massif dan mekanistik itu maka keunikan para peserta didik kurang mendapatkan perhatian, maka akibatnya potensi unggul menjadi terlewatkan, kurang mendapat iklim untuk berkembang.

Melihat beberapa kelebihan dan kekurangan masing-masing dari kedua jenis pendidikan ini, maka dalam mengembangkan STAIN Malang yang sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, mencoba mensintesakan tradisi perguruan tinggi dengan tradisi pesantren atau ma’had. Setelah program tersebut berjalan lebih dari 10 tahun, ternyata tidak sedikit kalangan memberikan penilaian yang positif. Menteri Agama, Dr.Maftuh A Basuni, beberapa kali berkunjung ke UIN Malang memberikan apresiasi yang tinggi. Demikian pula Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan penilaian yang positif terhadap bentuk pendidikan tinggi yang mensintesakan antara kedua tradisi tersebut. Konsep ini kemudian akan diadopsi oleh Departemen Agama, dikembangkan di berbagai PTAIN dengan sebutan Ma’had al Jami’ah.

Namun memang mengembangkan Ma’had Jami’ah ini tidak sebagaimana membangun perguruan tinggi, yang bersifat formal. Ma’had biasanya lebih menonjolkan aspek kulturnya. Sedangkan membangun kultur selalu tidak mudah. Membangun lembaga pendidikan formal, asalnya sudah tersedia sarana dan prasarana, kurikulum, tenaga pengajar dan para siswa serta dilengkapi dengan berbagai peraturan maka proses pengajaran bisa dijalankan. Membangun Ma’had yang mengedepankan kultur, membutuhkan orang-orang, -------Pengasuh, kyai, ustadz dan para santri, yang tulus atau berdedikasi tinggi dalam membangun pendidikan. Kultur Ma’had misalnya, adalah sholat berjama’ah. Contoh kecil, membiasakan sholat berjama’ah di waktu subuh secara istiqomah, misalnya, bukan pekerjaan mudah. Hubungan guru dan murid di Ma’had tidak sebagaimana di sekolah formal. Guru yang disebut Kyai atau Ustadz memberlakukan para santri sebagai orang yang sedang menimba ilmu pengetahuan, sehingga harus diberi rasa kasih sayang yang sama dan mendalam. Hubungan guru dan santri tidak pernah diikat oleh transaksi-transaksi, sebagaimana hubungan penjual dan pembeli di pasar, melainkan didasari oleh niat yang tulus dan ikhlas hanya karena Allah, mereka menunaikan amanah mengembangkan ilmu pengetahuan. Di sinilah kekuatan Ma’had atau pesantren dalam membangun kultur, hingga para santrinya ----mahasantri, tidak sedikit yang berhasil memiliki kelebihan dari lulusan lembaga pendidikan lainnya. Karena itu, sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan, menempuh cara dengan memadukan dua bentuk pendidikan --------perguruan tinggi dan ma’had, adalah merupakan keniscayaan.Wallahu a’lam.

Sumber :http://72.14.235.132/search?q=cache:zV-n9p5MlVcJ:www.uin-malang.ac.id/index.php%3Foption%3Dcom_content%26view%3Darticle%26id%3D848%253A06-04-2009%26catid%3D25%253Aartikel-rektor%26Itemid%3D12+artikel+pendidikan+keagamaan&cd=85&hl=id&ct=

Jumat, 17 April 2009

Krisis Akhlak di Indonesia Memprihatinkan

 Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, persoalan utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah kebodohan, kemiskinan, dan krisis akhlak yang belakangan ini begitu memprihatinkan.
   
"Dalam kaitan itu, perlu kiranya Departemen Agama (Depag) meningkatkan upaya penanggulangan melalui program kegiatan yang terencana dan terarah sesuai tanggung jawab melalui pendidikan agama dan keagamaan," katanya di Yogyakarta, Selasa.

Selain itu, katanya pada peresmian gedung Kanwil Depag DIY, Depag juga diharapkan dapat mengatasi masalah kebodohan sebagai penyebab keterbelakangan bangsa ini, dan bisa menjadi pelopor dalam upaya perbaikan akhlak dan moral bangsa khususnya dalam pemberantasan korupsi.
   
Menurut dia, Depag hendaknya juga dapat meningkatkan kontribusi melalui pemberdayaan lembaga sosial keagamaan seperti masjid, gereja, pura, dan tempat ibadah lain sebagai pusat kegiatan sosial kemasyarakatan.
   
Depag bersama instansi terkait juga diharapkan mengembangkan kebijakan di bidang pengelolaan zakat, infak, sedekah, wakaf, serta dana sosial keagamaan lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.
   
Ia mengatakan, dengan diresmikannya kantor baru yang cukup megah, diharapkan seluruh aparat Depag dapat lebih meningkatkan kinerja dan menjadikannya perekat hubungan antaragama dan pemeluknya menjadi semakin harmonis.
   
"Sesuai khitah, negara menjamin semua umat beragama untuk mengamalkan ajaran agamanya, baik kehidupan pribadi, maupun dalam pergaulan sosial kemasyarakatan sehingga tercipta kehidupan yang saling menghargai antarumat beragama di tengah masyarakat," katanya.
   
Sementara itu, Kepala Kanwil Depag DIY Afandi mengatakan, secara keseluruhan pembangunan gedung tersebut sebesar Rp 11,163 miliar.
   
"Dengan perincian dana DIPA 2007 sebesar Rp 3,841 miliar, DIPA 2008 Rp 6 miliar dan Rp 1,5 miliar," katanya. Peresmian gedung tersebut ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Sultan Hamengku Buwono X.

Tanamkan Pendidikan Keagamaan Sejak Usia Dini

Pendidikan agama memang harus dimulai sejak dini, agar kita mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang benar-benar tumbuh sebagai insan insan Akhlakul Kharimah, sebagaimana inti risalah Nabi Muhammad SAW, yakni insan yang bersikap taqwa kepada Allah SWT dan selalu siap mengabdi kepada kepentingan seluruh umat.

Ajakan itu disampaikan Bupati Deli Serdang Drs. H. Amri Tambunan didepan ratusan masyarakat pada saat acara Pengukuhan Pimpinan dan Pengurus Yayasan Pendidikan Madarasah Al- Amin H.M. Dahril Siregar sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Yayasan Drs. H. M. Yahya Z yang dirangkaikan dengan peringatan Mualid Nabi Besar Muhammad SAW 1430 H, Senin ( 9/3 ) dikompleks Yayasan Al- Amin Desa Medan Estate Kecamatan Percut Sei Tuan.


Lebih lanjut Bupati mengatakan nilai-nilai keteladanan Nabi Muhammad SAW perlu kita aplikasikan dalam usaha mewariskan kehidupan yang lebih baik pada generasi muda yang ada sekarang, dan kepada para pengurus yayasan al-amin yang telah dikukuhkan diharapkan dapat memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam peningkatan pendidikan agama kepada para anak didik.

Bupati Amri Tambunan yang telah mencanangkan Program Cerdas ( Percepatan Rehabilitasi dan Apresiasi terhadap Sekolah ) yang didukung tiga pilar kekuatan yaitu partisipasi masyarakat, pemerintah dan dukungan swasta, ia berjanji akan menyahuti dan membantu apa yang telah diprogramkan yayasan pendidikan al-amin yang telah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan pengembangan sarana dan prasarana sekolah tersebut.

Sementara Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Al- Amin Medan Estate H.M. Dahril Siregar yang juga sebagai Ketua DPC Pemuda Pancasila Kabupaten Deli Serdang menjelaskan pembangunan yayasan dan pendidikan al-amin ini dimulai lima tahun yang lalu yang di bangun melalui partisipasi masyarakat setempat dibantu para donatur serta bantuan dana dari Pempropsu dan saat ini butuh segera penambahan ruang kelas belajar karena minat belajar disekolah ini meningkat derastis hingga mencapai 331 anak murid yang di asuh 11 guru belajar, dan yayasan pendidikan ini didampingi oleh 13 Dewan pakar diantaranya Profesor Amrin Saragih MA bidang kebahasaan dan Profesor DR Damanik MS bidang pendidikan.

Ketua panitia DR. Muhammad Yusuf MSi menjelaskan kegiatan pengukuhan pengurus yayasan dan peringatan maulid ini dirangkaikan dengan berbagai kegiatan lomba yakni lomba baca Tahtim Tahlil bagi kaum ibu dan lomba praktek sholat dan lomba azan bagi anak-anak murid serta menghadirkan penceramah DR H. Muhammad Syafi’i Siregar.
Tampak hadir Kadis Dikpora Drs. Sofian Marpaung MPd, sejumlah pejabat Pemkab Deli Serdang, Camat Percut Sei Tuan H. Syafrullah S.Sos MAP/Muspika, serta Tokoh Pemuda dr. Boyke Sihombing.

Idul Fitri Media Pendidikan Keagamaan Kritis-Konstruktif

DALAM kalender peribadatan umat Islam, puasa merupakan ibadah yang memakan waktu paling lama dibandingkan dengan ibadah yang lain. Selama menjalankan puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman rohaniah-religius yang langsung terkait dengan pengasahan kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan pemupukan rasa solidaritas sosial-kemanusiaan paling dalam. Sedemikian dalamnya sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan dosa bagi yang berpuasa dengan penuh perhitungan, introspeksi mendalam, dan kesungguhan (ghufira ma taqaddama min dhanbihi wa ma ta’akhkhara).

Akan tetapi, tidak mudah bagi seseorang apalagi kelompok untuk memetik saripati atau buah gemblengan puasa. Begitu sulitnya, sampai-sampai Rasulullah SAW perlu menyampaikan peringatan tegas kepada pengikutnya, tidak semua orang yang telah melakukan puasa serta-merta akan memetik buah ibadah puasa. "Banyak orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga" (kam min saimin laisa lahu min saumihi illa al-ju’ wa al-’atas).

Dalam setiap ritual keagamaan, selain ada unsur "optimisme", juga ada unsur "pesimisme". Kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu ada dalam diri seseorang. Ada perasaan besar harap (al-raja), tetapi juga ada perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itu, pada ayat yang mewajibkan orang mukmin berpuasa diakhiri dengan "harapan" (la’ala: la’alakum tattaqun); semoga dengan ibadah puasa dapat mencapai derajat takwa yang sesungguhnya. Mengapa? Karena masih banyak cobaan, rintangan, dan godaan yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan puasa, yang dapat menjauhkan dari nilai-nilai puasa yang seharusnya dipetik.

Panduan etika kehidupan

Abad baru, abad ke-21, membawa tantangan baru negatif maupun positif bagi manusia. Jika hal-hal negatif tidak segera diwaspadai dan diantisipasi, maka hal itu akan membuat lingkungan hidup di muka planet Bumi kian tidak nyaman dihuni.

Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam di mana-mana. Tindak kekerasan kian bertambah kualitas maupun kuantitasnya. Bom bunuh diri dianggap wajar. Merajalela dan tidak dapat dicegahnya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); kemiskinan tampak begitu jelas; rapuhnya kelembagaan keluarga; penyalahgunaan obat terlarang, ketidaksalingpercayaan (mutual distrust) antarwarga, buruk sangka antarkelompok sosial, antarkelompok intern umat beragama, antar-ekstern umat beragama; melemahnya solidaritas kemanusiaan; dan banyak lagi penyakit sosial lainnya.

Menghadapi situasi itu, muncul pertanyaan dari generasi muda dan oleh siapa saja yang ingin menjalani lebih lanjut makna ibadah Ramadhan, sekaligus berharap dapat memperoleh nilai tambah dan manfaat praktis dari ibadah yang dilakukan untuk dijadikan panduan etik dalam hidup sehari-hari.

Dalam studi agama Islam selalu dibedakan-meski tidak bisa dipisahkan-antara wilayah "doktrin" (yang bercorak tekstual teologis) dan wilayah "praktis" (yang bersifat fungsional praktis). Dari segi doktrin, tidak kurang dalam tekstual atau dalil yang dapat dijadikan landasan teologis untuk mewajibkan ibadah puasa. Namun, dari segi manfaat dan nilai guna yang bersifat fungsional praktis, khususnya yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kehidupan sebelas bulan di luar Ramadhan, orang masih perlu menjelaskan dan mengupasnya lebih lanjut.

Setidaknya ada tiga nilai pokok yang dapat dipetik dari ibadah Ramadhan yang dapat dijadikan pedoman etik kehidupan selama 11 bulan yang akan datang.

Sikap kritis dan peduli lingkungan

Agama Islam mempunyai cara pandang dan weltanschauung yang unik. Tidak selamanya kebutuhan makan minum harus dipenuhi lewat tradisi yang biasa berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Rutinitas makan dan minum yang mengandung kalori berlebihan sekali waktu perlu dicegah dan dihindari. Islam mengajarkan, orang tidak harus selalu "terjebak", "terbelenggu", "diperbudak" oleh rutinitas makan dan minum yang terjadwal. Lebih jauh lagi, jangan "terbelenggu" dan "terjebak" rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum ekonomi. Sekali waktu harus dapat mengambil jarak, menahan diri, bersikap kritis, dan keluar dari kebiasaan rutin budaya konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar.

Sebenarnya orang yang menjalani puasa dilatih bersikap "kritis" ketika melihat semua fenomena kehidupan yang sedang berjalan dan terjadi di masyarakat luas. Maksud latihan itu agar timbul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap keadaan lingkungan sekitar. Tindakan koreksi dan perbaikan adalah simbol rasa memiliki sekaligus peduli seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pada gilirannya, sikap kritis itu dapat disemaikan kepada orang lain, teman seprofesi, seagama, sejawat penyelenggara negara, dan lebih jauh membuahkan gerakan masyarakat peduli (care society) lingkungan alam dan sosial yang genuin.

Bangsa Indonesia kini sedang terjangkit penyakit careless society, masyarakat yang tidak peduli kepada nasib kiri-kanan. Akibatnya, mereka dirundung berbagai penyakit moral. Generasi muda mudah tergiur narkoba, generasi tua dihinggapi penyakit KKN kronis yang meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban masyarakat.

Kedua fenomena moral-sosial itu hanya menunjukkan ketahanan mental dan kekuatan moral bangsa Indonesia sudah mencapai titik terendah. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis terhadap lingkungan sosial sekitar. Pendidikan agama hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriah, terjebak dan terkurung ibadah mahdlah (murni) dan sifatnya terlalu teosentris, tetapi kurang dikaitkan dengan "jiwa", "makna", "nilai", dan "spirit" terdalam dari ajaran agama yang dapat menggerakkan jiwa seseorang dan kelompok untuk lebih peduli terhadap persoalan kemanusiaan sekitar (anthroposentris).

Dengan berakhirnya ibadah puasa, umat Islam bersama seluruh lapisan masyarakat diharapkan, bahkan dituntut, dapat mengkristalkan nilai dan mengambil sikap bersama untuk membasmi penyakit mental dan moral yang sedang melilit bangsa, yang mengakibatkan krisis multidimensi di Tanah Air.

Kesalehan pribadi dan sosial

Jika direnungkan kembali, falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan puasa, menegaskan perlunya "turun mesin" (overhauling) kejiwaan selama 29 hari dalam satu tahun. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu, lalu diperbaiki dan alat-alat yang rusak diganti. Koreksi total ini dibutuhkan guna menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan untuk waktu-waktu berikutnya.

Dalam beribadah puasa harus selalu ada semangat untuk perbaikan. Pengendalian hawa nafsu, emosi, dan pengendalian diri tidak hanya terfokus pada kehidupan individu, tetapi perlu dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial. Dimensi sosial ibadah puasa meminta lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga sosial keagamaan, dan lembaga negara untuk selalu menghidupkan semangat social critics, social auditing, dan social control. Semuanya dimaksudkan untuk memperkuat dan memberdayakan kesalehan publik yang lebih nyata.

Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu menekankan aspek kepedulian sosial. Makna tazkiyatu al-nafs (penyucian diri) kini tidak cocok lagi dipahami sebagai menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial kemasyarakatan, menyepi. Makna tazkiyatu al nafs era kontemporer amat terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan dan sosial sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Sebenarnya penyucian diri pribadi atau ritus-ritus individual yang tidak punya dampak dan makna sosial sama sekali kurang begitu bermakna dalam struktur bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.

Dengan lain ungkapan, kesalehan pribadi amat terkait dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di Tanah Air adalah cermin krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi positif antara krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis lingkungan hidup. Dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Gerakan orangtua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, perlu terus dipupuk, didorong, dan didukung oleh semua pihak.

Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di Tanah Air di era reformasi, yaitu menjelmanya gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Perlu kesadaran baru dan upaya lebih serius yang dapat menggiring gerakan sosial keagamaan ke porosnya semula, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.

Sejauh manakah ibadah puasa berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan memperkokoh kesalehan sosial? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap lingkungan dapat ditumbuhkembangkan untuk mengurangi jurang yang terlalu jauh antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial? Jika dampaknya masih sedikit, mungkin benar sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Artinya, intisari dan hikmah puasa belum disadari, apalagi diimplementasikan.

Jiwa keagamaan yang inovatif

Kiranya dapat disimpulkan, nilai kegunaan praktis puasa adalah kemampuan membentuk pribadi, cara pandang, dan semangat keagamaan yang baru, inovatif, kreatif, dan dapat diperbarui terus-menerus. Tujuan utama disyariatkan puasa Ramadhan adalah perubahan kualitas hidup beragama ke arah paradigma berpikir keagamaan baru yang lebih menggugah-imperatif, inovatif, kreatif dan transformatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam kapasitas seseorang sebagai petani, pedagang, guru, kiai, dosen, artis, birokrat, pejabat negara, pemimpin masyarakat, pemimpin halaqah-halaqah, juru-juru dakwah pimpinan usrah-usrah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, tokoh-tokoh LSM, pegawai kantor, mahasiswa, anggota TNI, polisi, maupun lainnya.

Puasa tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ibadah puasa mempunyai fungsi moralitas praktis, akhlak karimah, budi luhur dan pendidikan keagamaan yang bermuatan nilai-nilai kritis-konstruktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tanpa menangkap makna itu, puasa hanya mendapat lapar.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, way of life dan cara hidup keagamaan yang "baru", setelah turun mesin 29 hari adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. "Laisa al-'’d liman labisa al-jadid, wa lakinna al’idu liman taqwa hu yazid" (hari Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang- orang yang takwanya bertambah), yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan dan semangat untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial kemasyarakatan, sosial politik dengan landasan keagamaan yang otentik.

Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar'’y ibadah puasa, dalam merayakan Idul Fitri 1424 H ini umat Islam mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan ke arah terbentuknya masyarakat yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial dan alam sekeliling; mampu berperan aktif mengoreksi perjalanan dan tanggung jawab sejarah di bumi Nusantara ini.

Pendidikan Keagamaan terus Ditanamkan

DUA tahun enam bulan tepatnya Drs H Halil Domu MSi mengabdikan diri sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulut. Pria yang dilahirkan di Poyowa hari ini (23/3) mencapai usia ke 53. Menurut Domu, hidup adalah anugerah terindah dan terbesar telah diberikan Allah SWT kepadanya. Pria yang dibesarkan di Kabupaten Bolaang Mongondow ini tumbuh sebagai seorang muslim yang rendah hati dan bersahaja. Sikap dan kepribadian inilah yang melekat dalam dirinya dan mengantar dia menjadi orang berguna bagi nusa bangsa dan agama. Berlatar belakang sebagai seorang pendidik dia terus merentas kehidupan dan karier.
Banyak suka dan duka yang dirasakan selama bertugas. Walau begitu suami dari Hj Harniyanti Potabuga sangat konsen dengan tugas. Tak heran sejak kepemimpinannya di Depag banyak kemajuan yang diraih. 
Dalam karir pendidikan, Domu termasuk pelopor pendiri Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN). Sekolah ini telah eksis dan menjadi kebanggaan masyarakat Kristen di Sulut. Tak sampai di situ sejak dikeluarkannya UU tentang pendidikan agama dan keagamaan Domu langsung menindaklanjuti melalui sosialisasi. Domu juga ikut andil berdirinya 12 Sekolah Menengah Teologia Kristen (SMTK). Selain di bidang pendidikan, ayahanda terkasih Musdalifah Domu SH dan Aldy Muhammad Domu ini juga sangat memprioritaskan masalah kerukunan umat beragama. “Saya sangat menentang jika ada oknum yang mencari kesempatan memprovokasi masyarakat supaya terjadi konflik. Jika ada masyarakat yang mengetahui hal ini, harap melapor,” ungkap Domu penuh ketegasan beberapa waktu lalu. Untuk terus menjaga kondusinya Sulut, dialog antar tokoh agama pun terus dilakukannya.(cw-09)

Pemerintah Daerah Berupaya Maksimal Membantu Pendidikan Keagamaan

Pemerintah daerah akan selalu berupaya maksimal untuk membantu lancarnya pembangunan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di bidang keagamaan, guna mewujudkan Kabupaten Banjar yang Baiman Bauntung dan Batuah. Namun sejauh ini masih terkendala Permendagri nomor 13 tahun 2006, khususnya bantuan yang diberikan kepada sekolah agama swasta.

Hal tersebut dikemukakan Bupati Banjar HG. Khairul Saleh saat menerima kunjungan puluhan orang perwakilan guru-guru agama swasta se-Kabupaten Banjar, Senin (3/12) di runag kerjanya.

Lebih jauh Khairul Saleh menyatakan, salah upaya untuk membantu pendidikan keagamaan tersebut adalah dengan diserahkannya bantuan sebesar sebesar Rp. 3,6 miliyar lebih untuk 1.494 guru TK Alqur’an, 167 guru TK Alqur’an Albanjari, 1.195 guru madrasah diniyah awwaliyah dan 126 guru madrasah diniyah wustho.

Disamping itu bantuan tersebut menurut Khairul Saleh juga diserahkan bantuan untuk 1.435 guru pondok pesantren, 1.583 guru madrasah ibtidayah, tsanawiyah dan aliyah swasta serta bantuan untuk 187 orang penghulu se-Kabupaten Banjar saat menjelang Lebaran 1428 hijriyah beberapa waktu lalu.

Sehubungan dengan adanya keinginan para pelaku pendidikan agama swasta tersebut tentang bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan ujian nasional Khairul Saleh menyatakan, untuk sekolah agama negeri sudah menjadi tanggung jawab Departemen Agama, sedangkan untuk sekolah agama swasta, akan dianggarkan melalui APBD yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan.

Sementara Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Banjar H. Nabhani Abdullah, mengemukakan saat ini pihaknya masih terkendala untuk membantu Pemerintah dalam mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun, karena masih banyaknya sekolah swasta yang masih menggunakan kurikulum Pondok Pesantren dan tidak menggunakan kurikulum Depag, sehingga tidak dapat mengikuti ujian nasional.

Menanggapi kendala itu, Wakil Bupati Banjar KH. Muhammad Hatim, Lc yang juga turut menerima kunjungan tersebut mengemukakan, untuk merubah atau mengganti kurikulum Pondok Pesantren menjadi Kurikulum Depag memang tidak mungkin, mengingat siswa yang masuk sekolah di madrasah swasta pada sore hari, biasanya juga masuk sekolah di Sekolah Dasar pada pagi harinya, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

Labih jauh Guru Hatim, menjelaskan, setelah meluluskan madrasah swasta biasanya mereka juga meluluskan Sekolah Dasar di kampungnya dan meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi pada Pondok Pesantren di ibu kota kabupaten namun tidak menggunakan kurikulum Depag.

Untuk mengatasi kendala Depag dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun, ia menganjurkan agar para guru-guru pada sekolah swasta, khususnya yang memiliki murid yang tidak berijazah sesuai kurikulum Pemerintah ataupun kurikulum Depag agar menyediakan atau menyelenggarakan kegiatan belajar Paket B dan Paket C guna membantu pemerintah dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun.  

Kamis, 12 Maret 2009

Dibahas, Dua Draft RUU tentang Pendidikan

Jakarta: Ratas (Rapat Kabinet Terbatas) yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wapres Jusuf Kalla hari Rabu (27/12) siang, selain membahas perkembangan prestasi olahraga yang memprihatinkan, juga membahas draft dua RUU (Rancangan Undang-undang) Pendidikan dan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang Wajib Belajar.Dua RUU itu masing-masing adalah RUU tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, serta RUU tentang Badan Hukum Pendidikan, kata Mendiknas Bambang Sudibyo kepada wartawan usai mengikuti ratas. Kata Mendiknas, “RUU dan RPP yang sudah didraft oleh Depdiknas, disinkronisasikan oleh Dephuk dan HAM, kemudian pada hari ini diajukan kepada Presiden untuk pengesahan. RPP Wajar (Wajib Belajar – red) isinya mengatur tentang ketentuan umum, fungsi dan tujuan dari program Wajar, penyelenggaraan program Wajar, pengelolaan program Wajar, evaluasi Wajar dan penjaminan Wajar, hak kewajiban masyarakat, pengawasan program Wajar,” jelas Mendiknas. "Di dalam RPP Wajar ini ada pasal penjaminan, yaitu tentang bagaimana pendanaan Wajar. Untuk investasi, kita bedakan antara biaya investasi dan biaya operasi. Untuk investasi, tanggung jawab investasi itu sesuai dengan siapa yang memiliki. Kalau yang memilki pemerintah atau pemerintah daerah, maka yang investasi adalah pemerintah atau pemerintah daerah. Kalau yang memiliki swasta, yang investasi adalah pihak swasta. Tapi kalau biaya operasi Wajar jelas menjadi tanggung jawab negara. Tentang bagaimana membaginya, nanti diatur dalam PP tersendiri, yaitu PP tentang Pendanaan Pendidikan," jelas Mendiknas lagi. Mengenai RUU Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang secara umum disetujui oleh Presiden, kata Mendiknas, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah dua hal yang berbeda. "Pendidikan Agama adalah bagaimana sekolah atau perguruan tinggi itu memberikan mata kuliah atau pelajaran agama. Diatur bagaimana kurikulumnya, penyediaan tempat, pengaturan waktunya, pengaturan gurunya, dan kesempatan untuk bisa mengamalkan atau melaksanakan ibadah. Sedangkan Pendidikan Keagamaan isinya hanya kelas atau mata pelajaran atau mata kuliah saja," jelas Bambang Sudibyo.Sementara RUU Badan Hukum Pendidikan, tambahnya, adalah mengatur tentang pendirian dan pengesahan badan hukum pendidikan, organ-organ badan hukum pendidikan, kekayaaan badan hukum pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas badan hukum pendidikan, ketenagaan badan hukum pendidikan, penggabungan satu atau lebih badan hukum pendidikan, pembubaran badan hukum pendidikan, dan sangsi administratif maupun sangsi pidana. "Secara umum isi dari RUU ini juga disepakati oleh Presiden, tetapi ada beberapa masukan dari sidang kabinet terbatas yang menghendak agar dikembangkan pengaturan yang lebih fleksibel tentang hubungan badan-badan penyelenggara, supaya tidak mematikan inisiatif masyarakat untuk ikut menyumbangkan tenaga, pikiran dan hartanya untuk pengembangan pendidikan di Indonesia," kata Mendiknas Bambang Sudibyo.

Banyak Pesantren Gulung Tikar

PANTAS Kab. Cianjur dijuluki kota santri dan pabrik kiai. Di Jabar, kabupaten ini paling banyak memiliki pondok pesantren (pontren). Namun belakangan, ternyata tidak sedikit pula pesantren yang gulung tikar. Institusi pendidikan keagamaan ini ditinggalkan para santrinya. Tempat tinggal santri yang biasa disebut kobong pun bak bangunan tua.
Tengok saja Pontren Al Irfan, di Desa Peuteuycondong, Kec. Cibeber. Jumlah santri yang menimba ilmu di pontren ini terus menyusut hingga sekarang tak seorang santri pun yang masih bertahan. Kobongnya pun ibarat rumah hantu saja, tidak terawat lagi. Padahal, sebelumnya aktivitas santri di pontren yang diasuh K.H. Achyad ini sangat dinamis.
Nasib serupa dialami pontren lainnya. Pontren Gelar, Kec. Cibeber, yang dulu termasyhur di Cianjur kini kian meredup saja. Begitu pun pontren lainnya, seperti pontren Ciharashas, Kec. Cilaku atau pontren Darul Fallah, Desa Jambudipa, Kec. Warungkondang. Animo masyarakat untuk menjadi santri potren yang dulu terkenal itu kian turun. Malah ada pula yang kemudian pengasuh pontren menyengketakan lahan pontren.
Pengurus MUI Kab. Cianjur, Yosef Umar, menyebutkan, banyak permasalahan yang menyebabkan potren gulung tikar karena ditinggalkan santrinya. "Salah satu permasalahan yang paling mendasar yakni pontren bersangkutan tidak mengikuti perkembangan zaman," ungkap Yosep, di ruang kerjanya, Jumat (23/1).
Pontren bersangkutan, katanya, semata-mata mentransfer ilmu keagamaan, tidak mengikuti kurikulum baku, dan pengelolaannya bersifat tradisional. Dengan kondisi seperti ini pontren tidak memiliki legalitas formal dari negara, seperti madrasah ibtidaiah (MI) atau madrasah tsnawiah (MTs.), sehingga tidak menarik minat masyarakat menimba ilmu di pontren ini.
Saat ini urusan legalitas sangat penting. Lulusan apa seseorang menjadi gengsi tersendiri dan harus dibuktikan secara legal. Konsekuensinya jika ada institusi pendidikan tanpa legalitas dengan sendirinya tidak bakal diminati warga. Malah sekarang, menurut dia, urusannya lebih pragmatis lagi. Orang akan mempertimbangkan bakal bagaimana nanti menyangkut kehidupan materinya setelah menimba ilmu di sebuah institusi pendidikan, seperti pesantren.
Oleh karena itu, di samping aspek legalitas dan membangun integritas moral keagamaan santri, pontren harus berorientasi pasar kerja. Artinya, terang Yosef, pascapendidikan di pontren, para santri memiliki lahan hidup, bukannya menambah jumlah penangguran. Dengan sosok seperti ini menjadikan pontren memiliki daya tarik besar di tengah-tengah masyarakat.
Program pengembangan Tempat Praktik Kegiatan Usaha (TPKU) dan Tempat Pelatihan Usaha Santri (TPUS) yang digulirkan Menteri Koperasi dan UKM Surya Dharma Ali bagi 470 pontren di Jabar ini sangat strategis. Program yang masing-masing senilai Rp 200 juta hingga Rp 250 juta ini, di antaranya untuk pontren di Cianjur, tuturnya, akan membangun posisi tawar pesantren di tengah-tengah masyarakat yang merindukan lapangan kerja seusai mengikuti pendidikan di pontren.
Para santri tidak sekadar mengikuti pendidikan resmi, mereka pun akan dilatih keterampilan usaha, baik di sektor pertanian, perikanan, atau sektor lainnya yang bisa mendatangkan uang. "Dengan memiliki keterampilan, mereka bisa membuka usaha untuk kelangsungan hidupnya," ujarnya.
Penyelenggaraan pendidikan nonkeagamaan, seperti keterampilan usaha di pontren, ucap Ketua Komisi IV DPRD Cianjur, K.H. Koko Abdul Qodir Rozi, merupakan inovasi yang bisa menarik minat masyarakat untuk menjadi santri. Kelak, santri bukan hanya sarat dengan ilmu keagamaan melainkan pandai atau terampil berusaha guna memenuhi kebutuhan materinya.
Perlunya adaptasi dan inovasi seperti pemberian keterampilan usaha, bagi pengasuh Pontren Al Barkah Warujajar Cianjur ini sebenarnya disadari para pengasuh pontren. Namun, mereka sering terbentur ketiadaan dana untuk penyelenggaran pendidikan keterampilan itu. Karena untuk pengadaan SDM, sarana, dan prasarana pelatihan dibutuhkan dana yang cukup besar.
"Jadi permasalahannya kembali pada ketiadaan dana untuk pengembangan pontren yang sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, instansi terkait, seperti Departemen Agama atau Dinas Pendidikan harus memedulikannya. Pontren modern yang sekarang banyak berdiri di Cianjur menyedot investasi yang sangat besar," kata Ustaz Koko, panggilan akrabnya, di ruang kerjanya, Kamis (22/1).
Saat ini jangankan untuk melakukan inovasi, sekadar melangsungkan pendidikan yang alakadarnya sekalipun, pontren dibelit kesulitan dana. Pengasuh pontren yang terdiri atas para kiai terpaksa pontang-panting untuk memenuhi kelangsungan hidup pontrennya sendiri. "Pontren itu kan didirikan oleh para kiai, bukan pengusaha," ujarnya.
Kondisi seperti ini kadang dimanfaatkan oknum untuk menjual proposal kebutuhan pontren walaupun pontrennya fiktif. Untuk mengatasi oknum yang mencoreng nama baik potren, Depag harus segera menertibkan potren yang ada di Cianjur. Depag harus mengetahui potren mana yang masih menyelenggarakan pendidikan dan mana yang tidak.
Jumlah pontren
Jumlah pontren versi data Depag Kab. Cianjur mengalami fluktuasi dalam tiga tahun terakhir ini. Pada 2004-2005 ada 344 pontren. Tahun 2005-2006 melonjak jadi 514 pontren, namun 2006-2007 turun lagi jadi 336 pontren, dan 2007-2008 bertambah lagi menjadi 438 pontren. Data ini teridentifikasi, ujar Kasi Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Depag Kab. Cianjur, Lisnawati.
Tapi berapa banyak pontren yang sekarang masih menyelenggarakan pendidikan, pihaknya tidak mengetahui persis, sekaitan belum pernah melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev). Pihaknya pun tidak mengetahui pontren mana yang dikucuri bantuan atau program dari pemerintah.
Sejatinya setiap pontren harus mengantongi izin operasional dan guna memiliki izin tersebut pontren bersangkutan harus memenuhi persyaratan, di antaranya, melaporkan aset pontren, jumlah santri, data kiai, yang diketahui oleh kepala desa, kecamatan, dan MUI. Sebelum izin terbit pun pihaknya akan melakukan survei.
Banyaknya pontren yang gulung tikar, imbuhnya, akibat pengelolaan yang kurang profesional. Para pengelola tidak mengikuti tuntutan zaman yang berarti melakukan pembaruan, baik pada pola pengajaran, manajemen, peningkatan SDM pengelola, maupun aspek lainnya termasuk tuntutan pasar kerja.

Wakil Bupati Serahkan Bantuan Sarana Keagamaan

Wakil Bupati Kendal Dra. Hj. Siti Nurmarkesi Selasa (12/8) di pendopo setempat menyerahkan bantuan sarana keagamaan dan pendidikan keagamaan. Dana yang diserahkan Wabup sebesar Rp1,7 miliar. Mereka yang mendapat bantuan terdiri atas masjid, musala, gereja, madrasah diniyah, majelis taklim, TK, TPQ, MI, pondok pesantren, SMP dan SMA swasta.

Kabag Kesra Pemkab Drs. Biyanto mengatakan, bantuan banguan keagamaan berasal dari APBD 2008 lewat pos bantuan sarana peribadatan dan sarana pendidikan. Sebagian besar bangunan keagamaan yang dibantu adalah masjid dan musala. Sebanyak 194 bangunan musala dan 100 bangunan masjid mendapatkan dana dari APBD 2008.

“Lainnya berupa madrasah, TPQ, majelis taklim, gereja, dan pondok pesantren,” tukas Biyanto, kemarin.
Biyanto menjelaskan, bantuan sarana keagamaan dan pendidikan bervariasi antara Rp2 juta –Rp6 juta. Bangunan masjid sebesar Rp6 juta, musala Rp2,5 juta, TPQ Rp2 juta, madrasah Rp2 juta, MI Rp3 juta, pondok pesantren Rp3 juta, dan majelis taklim Rp1,5 juta.

Sementara itu Wakil Bupati Dra. Hj. Siti Nurmarkesi dalam sambutannya meminta agar bantuan yang diserahkan tidak ada pemotongan sepeserpun. “Saya pokoknya tidak mau dengan bahwa bantuan yang diserahkan dipotong untuk alasan ini dan itu. “Tegas Wabub. Ia menjamin dana bantuan tidak dipotong sepeser pun. “Jika ternyata masih ada pemotongan laporkan saja pada saya, nanti yang memotong akan diberi sanksi.

Bupati Konawe Janji 31M untuk Keagamaan

Bupati Konawe, Sulawesi Tenggara, Dr Lukman Abunawas, akan mengalokasikan dana pendidikan keagamaan sebesar Rp 31 miliar untuk tahun 2007.Dana tersebut digunakan untuk membangun sarana-sarana keagamaan seperti mesjid, pura maupun gereja, termasuk pembangunan gedung sekolah keagamaan, kata Lukman di Konawe, Jumat (30/11), seperti dikutip RRI.Menurut dia, untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan terciptanya kerukunan antarsesama seagama dan antaragama diperlukan sarana prasarana pendidikan agama yang layak, seperti pondok pesantren.Selain itu, pembangunan sejumlah rumah ibadah dan tempat pertemuan antarpemuka agama juga dilakukan, sehingga kerukunan antarumat beragama terus terjalin dengan baik."Kita inginkan daerah ini tetap aman dan keharmonisan antaragama tetap terjalin sehingga ancaman kerusuhan akibat perbedaan agama dapat dihindari," ujarnya.Pihaknya berharap, dengan jumlah dana tersebut sarana dan prasarana ibadah serta kebutuhan keagamaan dapat tercapai.

Pendidikan Satu Atap

GAGASAN tentang pendidikan nasional di bawah satu atap, yang berarti penghilangan "dualisme" penyelenggaraan pendidikan di Indonesia seperti praktik selama ini, sebenarnya bukan suatu hal baru. Mendikbud Daoed Joesoef (1978-1983) pernah mengemukakan gagasan ini, yang berarti bahwa semua lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan, diurus di departemennya. Pada saat itu gagasan ini mendapat reaksi keras dari kalangan pemimpin dan organisasi Islam, terutama karena pertimbangan politis, yakni kekhawatiran akan adanya proses sekuralisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Di samping itu, umat Islam, yang pada waktu itu termarjinalisasi secara politis, berpikir bahwa keberadaan pendidikan keagamaan bukan hanya sekadar bentuk kelembagaan, tetapi juga merupakan simbolisme politik Islam di Indonesia.
Selang 20 tahun kemudian gagasan itu kembali muncul, yang dikemukakan oleh presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Memang Gus Dur tidak secara eksplisit menyatakan perlunya pendidikan nasional dalam satu atap, namun kebijakannya tentang perubahan nama Depdikbud menjadi Depdiknas dapat menjadi indikasi ke arah penyatuatapan ini. Kali ini gagasan penyatuan pendidikan nasional ini disambut biasa-biasa saja, dalam arti tidak ada penolakan keras maupun penerimaan dengan penuh kegembiraan. Tiadanya penolakan ini bisa jadi karena Mendiknas Dr Yahya Muhaimin, dan Menag KH Tolchah Hasan adalah sama-sama berasal dari organisasi Islam besar (Muhammadiyah dan NU), sehingga para tokoh Islam tidak khawatir akan munculnya sekularisasi pendidikan. Di samping itu, umat Islam kini sudah berada dalam center of power, sehingga pendidikan keagamaan di bawah Depag bukan merupakan satu-satunya ekspresi simbolisme politik Islam.
Pada dataran fisolofis, gagasan dasar Gus Dur dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan paradigmatis yang selama ini dirasa menggelayuti sistem pendidikan nasional. Diterimanya prinsip "dualisme-dikotomik" yang memisahkan dan membedakan "ilmu agama" dan "ilmu umum", sebagian diakibatkan oleh dualisme penyelenggaraan pendidikan ini. Dualisme ini bahkan membawa ekses munculnya persepsi bahwa wilayah agama dan moralitas terpisah secara diametral dengan wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan pada dataran praksis, hal ini telah melahirkan penyelenggaraan pendidikan yang "tidak adil" antara pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan. Sebagai contoh, indeks biaya pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibanding di sekolah umum, meski sejak awal tahun 1990-an telah terjadi kenaikan secara bertahap. Pada tahun anggaran 1999/2000 biaya pendidikan per siswa MIN (Ibtidaiyah) adalah Rp 19.000,- sedangkan SDN Rp 100.000,- (1:5,2), MTsN (Tsanawiyah) Rp 33.000,- sedangkan SMPN Rp 46.000,- (1:1,4), sedangkan SMUN Rp 67.000,- (1:1,3), dan IAIN Rp 50.000,- sedangkan UN/Institut Negeri Rp 150.000,- (1:3). Perbedaan ini akan sangat timpang jika perhitungan indeks biaya ini mengikutsertakan juga madrasah/sekolah swasta, karena sebagian besar madrasah berstatus swasta dan umumnya di bawah standar. Hal semacam ini ternyata masih terjadi sampai kini (tahun anggaran 2000), meski sudah ada political will presiden, yang notabene berlatar pendidikan keagamaan, untuk mewujudkan kesetaraan di antara keduanya.
Perbedaan tersebut tentu berakibat pada tingkat kualitas pendidikan keagamaan yang secara umum di bawah pendidikan umum. Tulisan ini bermaksud untuk mengungkapkan persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan keagamaan (madrasah dan perguruan tinggi agama), serta upaya-upaya untuk mengatasinya, termasuk gagasan penyatuatapan semua pendidikan di bawah sistem pendidikan nasional. Hanya bahasan ini lebih difokuskan pada pendidikan keagamaan Islam tingkat dasar dan menengah (madrasah), yang jumlah siswanya mencapai 15 persen dari keseluruhan jumlah siswa tetapi sampai kini masih menghadapi sejumlah permasalahan yang serius.
***
PENDIDIKAN keagamaan merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, yang eksistensinya disebutkan dalam pasal 11 ayat 6 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 1989: "Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan". Bahkan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) ditetapkan juga sebagai pelaksana program wajib belajar setingkat SD/SLTP, sedangkan Madrasah Aliyah (MA) sebagai SMU. Dengan demikian, pendidikan madrasah mengemban beban ganda. Di satu fihak ia berfungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan; di lain pihak ia juga berfungsi sebagai pelaksana pendidikan dasar dan menengah umum, yang berarti harus mengajarkan bahan kajian sama dengan sekolah umum. Memang hal ini tidak terlepas dari upaya-upaya penyetaraan madrasah dengan sekolah umum, yang dimulai dengan adanya SKB 3 Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) tahun 1975. Kemudian SKB ini dikuatkan lagi dengan PP No 28 tahun 1990, Sk Mendikbud No 0487/U/1992 dan No 054/U/1993. SK-SK ini ditindaklanjuti dengan SK Menag No 368 dan 369 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.
Sayangnya kondisi madrasah secara umum masih sangat memprihatinkan, baik dari segi kualitas guru, sistem manajemen dan administrasi maupun fasilitas dan dana yang dimilikinya. Secara umum problem yang dihadapi madrasah swasta lebih besar dari pada yang dihadapi madrasah negeri; dan secara nasional problem ini menjadi lebih serius, karena sebagian besar madrasah berstatus swasta. Pada tingkat pendidikan dasar, jumlah MIN hanya 4,8 persen, sedangkan MI Swasta 95,2 persen. Keadaan ini terbalik dengan SDN yang berjumlah 93,1 persen, sedangkan SD Swasta 6,9 persen. Keadaan serupa juga terjadi pada tingkat SLTP, yakni MTsN berjumlah 24,3 persen, sedangkan MTs Swasta 75,7 persen. Sebagai perbandingan , di lingkungan Depdiknas SMPN berjumlah 44,9 persen, sedangkan SMP Swasta 55,9 persen. Demikian pula pada tingkat SLTA, MAN berjumlah 30 persen, sedangkan MA Swasta 70 persen. Di lingkungan Depdiknas SMUN berjumlah 30,5 persen, sedangkan SMU Swasta 69,4 persen.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan madrasah itu tumbuh berkembang dari masyarakat. Memang pendirian madrasah lebih karena motivasi keagamaan sebagai salah satu perwujudan dakwah yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dari pada karena alasan rasional berdasarkan analisis kebutuhan. Hal ini mempengaruhi sistem manajemen dan administrasi madrasah swasta, yang secara umum masih konvensional, misalnya tiadanya pemisahan yang jelas antara yayasan, pimpinan madrasah, guru dan staf administrasi, serta banyaknya penyelenggaraan administrasi yang tidak sesuai dengan standar. Orang tua memasukkan anaknya di madrasah pun lebih termotivasi agar anak-anaknya mendapat pendidikan agama yang cukup dari pada untuk mempersiapkan mereka memasuki dunia kerja.
Meski tak sebesar permasalahan yang dihadapi madrasah swasta, madrasah negeri juga menghadapi permasalahan serupa. Masalah kekurangan tenaga guru, misalnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dialami madrasah swasta maupun negeri. Jumlah guru madrasah belum sesuai kebutuhan, berdasarkan ratio yang ditetapkan, baik di lingkungan madrasah swasta maupun di lingkungan madrasah negeri. Sebagai contoh, pada tahun 1998/1999 guru di MAN berjumlah 10.606 orang, dengan rincian: guru ber-NIP 15 (di bawah Depag) berjumlah 5.343 orang, ber-NIP 13 (di bawah Depdikbud) berjumlah 975 orang, dan selebihnya 4.288 orang berstatus guru honorer; sementara jumlah siswa MAN mencapai 169.910 orang. Kondisi yang lebih parah terlihat pada MA Swasta. Dari 2.977 MAS dengan jumlah siswa 271.124 orang, guru di MAS hanya berjumlah 34.867 orang, dengan rincian guru yang ber-NIP 15 berjumlah 4.291 orang, ber-NIP 13 sebanyak 355 orang dan selebihnya, 30.223 orang berstatus honorer.
Secara kualitatif terdapat tiga masalah yang terjadi pada guru madrasah. Pertama, ketidaksesuaian (mismatch) antara keahlian dan mata pelajaran yang diajarkan. Misalnya, lulusan Fakultas Syari'ah mengajar IPS atau MIPA. Kedua, belum memadainya tingkat kemampuan profesional guru, baik dari segi materi penguasaan ilmu dalam mata pelajaran yang dipegang maupun kemampuan dan penguasaan metodologis keguruannya. Ketiga, belum terpenuhinya standar kualifikasi pendidikan guru. Secara umum guru madrasah negeri yang masuk dalam kategori layak (qualified) hanya sekitar 20 persen, sedangkan untuk kategori salah bidang (mismatch) 20 persen, dan sisanya 60 persen masih dalam kategori belum layak (unqualified atau underqualified). Jumlah guru yang mismatch di madrasah swasta tentu lebih besar dari pada jumlah guru serupa di madrasah negeri.
***
UPAYA-upaya mengatasi hal tersebut sudah banyak dilakukan, baik oleh Depag maupun oleh ormas-ormas yang memiliki madrasah, seperti NU dan Muhammadiyah, atau oleh lembaga-lembaga lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pun telah mengarah kepada pemecahan masalah tersebut di atas, seperti diklat-diklat bagi guru, kepala madrasah, tenaga administrasi dan keuangan, tenaga laboratorium/perpustakan, dan sebagainya. Demikian pula, telah diupayakan pendidikan lanjutan (S1, S2 dan S3 bagi sejumlah pegawai di lingkungan Depag untuk mendalami bidang pendidikan. Namun, jumlah kegiatan ini tergolong masih sangat sedikit dibandingkan kegiatan serupa di Depdiknas. Masalah utamanya sebenarnya lebih banyak terletak pada jumlah anggaran pendidikan di bawah Depag yang sangat tidak seimbang dengan anggaran pendidikan di bawah Depdiknas. Hal ini juga berpengaruh pada kurangnya SDM di lingkungan Depag yang memiliki spesialisasi di bidang pendidikan, seperti spesialis di bidang perencanaan pendidikan, pengembangan kurikulum, informasi pendidikan, manajemen pendidikan, evaluasi pendidikan, dan sebagainya. Di samping itu, minimnya anggaran juga berpengaruh pada kurang layaknya gedung dan fasilitas pendidikan di lingkungan madrasah.
Dalam konteks ini, penyatuatapan penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan memang merupakan suatu keniscayaan, tetapi hal ini seyogianya dilakukan secara bertahap. Pada saat ini penyatuatapan secara fisik nampaknya belum diperlukan. Yang terpenting adalah penyatuan di bawah satu sistem pendidikan nasional, yakni bahwa tujuan umum, arah, strategi, dan penjenjangan semua jenis pendidikan haruslah menyatu. Upaya ke arah ini sebenarnya sudah tampak sejak awal dasawarsa 1990-an, yakni setelah adanya UUSPN tahun 1989. Secara implementatif penyatuan ini tampak dari kemungkinan perpindahan siswa/mahasiswa dari pendidikan keagamaan ke pendidikan umum, dan sebaliknya; serta adanya perlakuan yang sama (equal treatment) antara kedua jenis pendidikan ini.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah penyatuan dan penyetaraan anggaran antara pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum, berdasarkan rasio per siswa. Idealnya upaya penyetaraan ini dilakukan dengan memberikan anggaran lebih besar kepada pendidikan agama, agar pendidikan keagamaan ini dapat memacu ketertinggalannya dalam waktu yang tidak lama. Jadi hal ini semacam "diskriminasi terbalik" (reverse discrimination) yang diajukan para ilmuwan politik di Amerika Serikat untuk memacu perkembangan kelompok sosial yang semula diperlakukan secara diskriminatif, seperti orang Negro di AS. Namun, jika hal ini tidak memungkinkan-misalnya karena anggaran bidang pendidikan pada APBN tahun 2000 ini turun menjadi hanya 6,5 persen-pemberian anggaran yang sama pun akan dapat membantu penanganan permasalahan madrasah secara lebih baik dari pada penanganan saat ini.
Kemudian, kalau kenyataan bahwa sebagian besar madrasah adalah swasta, bukan berarti bahwa mereka tidak berhak mendapatkan anggaran dari negara. Kemandirian madrasah-madrasah swasta memang perlu dipertahankan, tetapi anggaran pendidikan dari negara juga perlu diberikan kepada mereka, terutama yang masih di bawah standar.