Minggu, 24 Mei 2009

SEKOLAH RUMAH, ATASI MASALAH TANPA MASALAH

Mitranetra, 10 August 2006

"Ayo... sekolah!" Inilah sepenggal pesan di dalam iklan layanan masyarakat yang sering muncul di layar televisi di Indonesia pada era ’90-an. Ketika itu, krisis multi dimensi belum memporak-porandakan kehidupan bangsa ini. Sekarang, saat orang harus membanting tulang agar perutnya sekedar kenyang, iklan itu pergi menghilang.

Pembengkakan biaya, keterbatasan pelayanan dan segudang masalah lain mungkin menyebabkan iklan untuk pergi ke sekolah mengundurkan diri. Tetapi hal tersebut bukan berarti anak-anak harus berhenti belajar. Mereka tetap dapat mengejar cita-cita melalui sekolah rumah.

Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, sekolah rumah adalah pendidikan informal bersuasana rumah. Tempatnya bisa di rumah, di tempat-tempat lain yang akan murid pelajari atau sesekali ia bergabung dengan teman-temannya di sekolah formal. Suasana belajar ini sebenarnya sudah ada sejak sebelum sekolah formal berdiri.

"Kita melihat tiga tokoh nasional kita, yaitu Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro dan Buya Hamka juga menerapkan sekolah rumah," kata Seto. Demikian pula halnya dengan anak-anak di desa pada masa dahulu. Mereka belajar di bawah bimbingan orang tua atau anggota keluarganya yang lain.

Berbeda dengan sekolah rumah modern yang menyesuaikan diri dengan kurikulum pendidikan formal, dulu anak-anak belajar di rumah tentang pertanian, membuat barang-barang kerajinan tangan, kesenian dan sebagainya. "Statusnya sekarang sudah sah atau resmi karena dijamin oleh undang-undang," tutur Seto. Dasar hukum yang ia maksud ialah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, terutama pasal 27.

Ayat 1 pada pasal tersebut menyatakan bahwa pendidikan di rumah merupakan pendidikan informal, sedangkan ayat 2 pada pasal yang sama menyatakan bahwa mutu pendidikan informal sama dengan pendidikan formal dan pendidikan non-formal, jika anak sudah lulus ujian kesetaraan. Anak yang lulus ujian Paket A setara dengan lulusan sekolah dasar, yang lulus ujian Paket b setara dengan lulusan sekolah menengah pertama dan yang lulus ujian Paket C setara dengan lulusan sekolah menengah atas. Mereka berhak melanjutkan pendidikan di sekolah formal yang lebih tinggi.

"Prospek ke depan cukup cerah, kalau sekolah-sekolah yang ada saat ini belum terlalu menyenangkan untuk anak atau penuh kekerasan," ujar Seto lirih. Selain itu, psikolog yang turut mendidik anak-anaknya di rumah ini menilai bahwa kendala biaya dan kebutuhan khusus juga menyuburkan sekolah rumah. Bagi para penyandang masalah tersebut, sekolah rumah lebih tepat, karena waktu, biaya dan tenaga yang terpakai sangat hemat.


Hardi Prayitno

sumber: http://www.mitranetra.or.id/news/index.asp?lg=2&id=108062519&m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar