Rabu, 11 Maret 2009

Legalitas Homeschooling

Di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, (kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh SERTIFIKAT kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh IJASAH yang setara dengan IJASAH dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi sesuai ketentuan berlaku.

Ketentuan berlaku disini peserta didik bisa mengikuti mekanisme perolehan sertifikasi melalui ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur nonformal (PKBM dan lembaga kursus dan mendapatkan ijasah kesetaraan) atau melalui ujian nasional pada jalur formal (bermitra dengan sekolah formal yang bersedia untuk mendaftarkan peserta didik homeschooling mengikuti Ujian Nasional.

Di atas sangat jelas bahwa model pendidikan homeschooling secara tunggal masuk ke dalam pendidikan dalam keluarga dan berada pada jalur PENDIDIKAN INFORMAL , kemudian apa masalahnya? Saya rasa untuk legalitas dan keberlanjutan pendidikan sudah tidak ada masalah lagi.

Selanjutnya bila model kegiatan homeschooling dibuatkan menjadi sebuah komunitas, maka akan menjadi sebuah lembaga PENDIDIKAN NONFORMAL , dan masuk menjadi SATUAN PENDIDIKAN KESETARAAN dengan persyaratan antara lain :

1. memiliki legalitas tetap , yaitu lembaga yang berbentuk yayasan atau lainnya yang telah di notariatkan dan melengkapi administrasi pendukung lainnya..

2. mengajukan ijin operasional ke dinas pendidikan setempat

Kkenapa harus ada persyaratan seperti itu Karena untuk menaungi hajat pendidikan orang banyak harus ada ijin kelembagaan yang jelas, untuk menjamin keberlangsungan jangka panjang lembaga tersebut serta jaminan proses pendidikan yang layak bagi anggotanya.

Sekarang yang perlu sama-sama kita pahami adalah, sampai saat ini memang belum ada mekanisme tersendiri untuk ijin operasional komunitas homeschooling , jadi MASIH HARUS MEMILIH INGIN MENGGUNAKAN IJIN LEMBAGA PKBM atau LEMBAGA KURSUS.

Apakah ada masalah? Saya rasa tidak ada masalah karena yang paling penting adalah bagaimana memberikan PROSES PEMBELAJARANNYA kepada peserta didik kita. Dan untuk kepentingan semangat homeschooling, kita bisa saja memberikan label komunitas homeschooling, sah sah saja.

Anak-anak homeschooling yang baru lulus kemarin sudah ada yang kuliah di Kedokteran Universitas Indonesia, di Bina Nusantara , di Borobudur , di London Business School , dan juga ada yang membuka usaha di bidang IT dan lainnya.

Homeschoolers", Bisa Kuliah juga, Kok...

Sekolah rumah atau homeschooling, terutama di kota-kota besar, mulai populer. Apa sih homeschooling?

Singkatnya, homeschooling itu metode pendidikan belajar-mengajar yang dilakukan di rumah, baik oleh orangtua maupun tutor. Sebenarnya sih enggak harus di rumah. Intinya, mereka yang menjalani homeschooling harus bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.

Materi pelajaran buat siswa homeschooling atau homeschoolers itu bisa sesuai dengan kurikulum nasional (sama dengan yang dipelajari abu-abuers di sekolah formal), kurikulum internasional, atau gabungan. Waktu belajarnya lebih fleksibel, jadi biasanya homeschoolers punya banyak kesempatan mendalami bidang pelajaran sesuai minat dan potensi masing-masing.

Pendidikan homeschooling bisa dilakukan satu keluarga, beberapa keluarga, atau bergabung dalam komunitas homeschooling. Karena keberadaannya sebagai salah satu bentuk pendidikan informal diakui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kamu enggak usah khawatir soal ijazah.

Peserta homeschooling seusia siswa SMA bisa ikut ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) Paket C, setara SMA. Kamu bisa ambil UNPK IPA dan IPS yang diselenggarakan dua kali setahun, pada Juli dan November.

Ada juga sih yang ikut ujian nasional (UN) di sekolah formal. Misalnya di Komunitas Sekolah Rumah Pelangi, Tangerang, homeschoolers punya dua pilihan. Mereka bisa ikut UNPK Paket C yang biayanya lebih murah, atau ikut UN SMA yang artinya bergabung dan bayar uang pendaftaran di suatu sekolah agar dimasukkan sebagai siswa yang berhak ikut UN.

Apa lulusan homeschooling enggak didiskriminasi? Seharusnya sih enggak boleh ada diskriminasi. Kan, dijamin undang-undang. Lagi pula, UNPK Paket C yang diikuti homeschoolers juga diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN. Standar nilai kelulusannya pun sama.

Alternatif

Buat mereka yang sibuk berkarier selain sekolah, seperti pemain sinetron yang hampir tiap hari shooting, homeschooling menjadi pilihan menarik. Atlet yang harus konsentrasi berlatih dan bertanding enggak usah khawatir bakal enggak bisa namatin sekolah karena tersedia pendidikan yang bisa menyesuaikan jadwal peserta.

Lha, abu-abuers yang bukan figur publik, apa alasannya ber-homeshooling?

Michael Tumiwa (19), warga Pamulang, Tangerang, bergabung dengan homeschooling Kak Seto karena stres berada di lingkungan sekolah formal yang pergaulannya bisa berdampak negatif buatnya.

”Rasanya enggak konsentrasi sekolah karena banyak teman pakai narkoba. Aku merasa enggak nyaman di sekolah. Pas kelas III SMA, aku keluar, ikut homeschooling,” kata Michael yang sejak 2007 menjadi mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.

Biar dari homeschooling, dia enggak merasa beda dengan teman-teman lain lulusan sekolah formal. Sebagai homeschooler, Michael juga belajar bidang studi yang sama seperti saat dia menjadi siswa SMA jurusan IPS.

”Asyiknya, waktu dan cara belajar homeschooling fleksibel, tapi bukan berarti seenaknya. Justru aku harus bisa belajar sendiri. Tiap Senin dan Rabu selama dua jam aku datang ke homeschooling Kak Seto, bertemu teman-teman dan tutor sambil belajar bersama. Selebihnya, belajar sendiri di rumah,” tutur Michael yang hobi main gitar ini.

Karena enggak harus sekolah tiap hari, dia jadi punya waktu menjadi guru privat gitar. Selain menyalurkan hobi, sekalian dapat duit. Urusan pendidikan pun enggak terbengkalai.

Ivan Rizki (19), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations, juga lulusan homeschooling Kak Seto. Bagi Ivan, homeschooling adalah harapan terakhir untuk menyelesaikan SMA.

”Aku beberapa kali pindah sekolah di SMA yang bonafide. Tapi aku enggak cocok dengan cara belajar di sekolah formal yang serba ngikutin aturan. Aku enggak nyaman belajar di sekolah. Terus, aku baca di media bahwa ada homeschooling. Aku jadi bersemangat buat menyelesaikan SMA-ku dengan cara yang lebih sesuai buatku,” ujar Ivan.

Kebutuhan individu

Apa yang dialami siswa seperti Ivan, dalam pandangan Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif, memerlukan metode pendidikan sesuai kebutuhan individu.

Siswa yang punya kendala psikologis (mudah stres dan tertekan belajar di sekolah), geografis (tempat tinggal jauh dari sekolah), dan ekonomis (dari keluarga tak mampu), bisa menemukan alternatif pendidikan dengan homeschooling yang umumnya fleksibel, menyesuaikan dengan minat dan potensi tiap individu.

Ivan bercerita, sebagai homeschooler, tak berarti dia bebas dari kewajiban belajar seperti di sekolah. ”Dengan homeschooling, aku lebih bisa menerima pelajaran. Aku punya jadwal belajar, dan itu dipantau para tutorku,” katanya.

Saat mendaftar perguruan tinggi, Michael dan Ivan enggak mengalami kesulitan meski mereka lulusan Paket C. Mereka yang mau ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) juga enggak ditolak meski berijazah Paket C. Ada juga, kok, homeschoolers yang diterima di perguruan tinggi negeri seperti Universitas Indonesia.

Gilang Pratama (17), homeschooler yang bergabung dengan Komunitas Homeshooling Berkemas di Jakarta, sedang menyiapkan diri ikut UNPK Paket C IPA. Ia belajar diselingi main piano yang jadi hobinya.

Kata Gilang, dia memutuskan ikut homeschooling pada Januari lalu, sekembalinya dari program homestay di negeri Paman Sam selama setahun. Gilang mesti balik lagi di kelas dua pada sekolah lamanya.

”Aku rugi setahun dong. Terus, aku dapat informasi, pendidikan homeschooling sudah ada dan diakui,” ujar Gilang yang bakal bertolak ke Jerman guna kuliah di bidang komputer.

Diknas akan Integrasikan Program Non Formal ke Pendidikan Formal



Bambang Sudibyo (GATRA/Edward Luhukay)Jakarta, 20 Desember 2004 19:00
Depdiknas akan mengintegrasikan beberapa program yang diajarkan melalui pendidikan non-formal dengan program pendidikan formal sehingga diharapkan peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya juga memiliki bekal kecakapan hidup.

"Pendidikan non formal banyak mengajarkan program kecakapan hidup (life skill) sehingga selayaknya dapat ditransfer dalam program pendidikan formal," kata Mendiknas Bambang Sudibyo ketika membuka Rakernas Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin.

Untuk itu, pemerintah saat ini tengah menggodok peraturan pemerintah yang memungkinkan dua program pendidikan yang berbeda tersebut dapat dipadukan.

Ia mengatakan, pemerintah akan memberikan penyelesaian dan mekanisme bagaimana melakukan transfer, namun demikian lembaga kursus yang dapat melakukan transfer ke pendidikan formal tentu harus melalui proses modifikasi dan terakreditasi.

Mengenai lembaga yang bakal ditunjuk melaksanakan akreditasi, Mendiknas menyatakan, lembaga tersebut sebenarnya sudah tersedia.

Beberapa lembaga yang berada dalam binaan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas, yang selama ini sudah mengembangkan program kecakapan hidup, bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi, katanya.

"Kalau yang diasuh oleh lembaga-lembaga itu saya tahu, itu sudah siap dan langsung bisa diberikan akreditasi. Tapi kalau yang diselenggarakan oleh masyarakat saya kan harus melihat dulu," katanya.

Ia juga mengatakan, jika pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan non formal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi.

Menurut dia, pemerintah akan mendorong lembaga formal seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memungkinkan anak didiknya mendapat bekal kecakapan hidup atau life skill. Hal ini sangat mungkin mengingat saat ini banyak disuplai oleh pendidikan non-formal.

Pendidikan nonformal seperti lembaga kursus, kata Bambang, punya keunggulan dibandingkan dengan pendidikan formal sebab lembaga kursus membuka program untuk memenuhi kencenderungan kebutuhan masyarakat.

Ia mengatakan, lembaga kursus berbeda dengan pendidikan formal. "Pemerintah membangun sekolah dimana-mana, biasanya tanpa banyak memperhitungkan kebutuhan masyarakat, semata-mata karena program pemerintah, maka dibangun saja. Sebaliknya, lembaga pendidikan non-formal dibangun dengan memperhitungkan kebutuhan masyarakat," katanya.

Pendidikan non-formal, memang tidak terlalu terstruktur dan dapat diselenggarakan lebih mengakomodasi kepentingan individual, sementara pendidikan formal prosesnya cenderung massal sehingga seringkali tidak memperhitungkan apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak, katanya.

Lebih lanjut Mendiknas mengatakan, tuntutan dunia pendidikan nasional ke depan akan mengutamakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang memiliki kemampuan memasuki bursa kerja semakin tinggi.

Oleh sebab itu Mendiknas, Bambang Sudibyo merencanakan agar pada sistem pembelajaran sekolah menengah umum tersebut juga diberikan pelajaran kecakapan hidup untuk menunjang kesiapan lulusan sekolah itu untuk memasuki dunia kerja.

"Diharapkan dengan adanya program ini maka angka partisipasi kasar sekolah bisa ditingkatkan," katanya.

Data Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) menyebutkan saat ini terdapat 2.500 lebih lembaga kursus di Indonesia, dan terdapat 131 jenis kursus yang diselenggarakan oleh PLSP.

Mengenai bentuk kurikulum pendidikan yang akan disusun dengan masuknya program pendidikan non formal ke dalam pendidikan formal, Mendiknas mengatakan pemerintah akan menerapkan kurikulum yang longgar sekali, kemudian sesuai dengan UU Sisdiknas.

"kurikulum efektif itu (yang memasukkan pendidikan non formal-red) akan diramu oleh masing-masing sekolah di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Jadi nantinya terserah masing-masing sekolah, bagaimana meramu kurikulumnya,"

Homeschooling Semakin Meluas

Homeschooling atau sekolah rumah kini mulai muncul menjadi alternatif. Sudah berapa banyak jumlahnya dan bagaimana aturan perundangan mengakomodasinya? Berikut wawancara dengan Ella Yulaenawati, direktur Pendidikan Keseteraan Departemen Pendidikan Nasional:

Bagaimana perkembangan homeschooling di Indonesia?
Termasuk pesat. Sekarang homeschooling mulai diketahui lebih luas dan mencakup lebih banyak kalangan. Tapi sebenarnya homeschooling itu sudah lama ada di Indonesia. Saat kita tertekan pada zaman penjajahan, banyak orang terdidik mendidik sendiri anaknya. Misalnya KH Agus Salim, Buya Hamka, Ki Hajar Dewantara. Tapi dulu disebutnya otodidak, belajar mandiri. Karena homeschooling belum tersosialisasi dengan baik, tanggal 31 Januari ini Depdiknas akan bekerja sama dengan PGRI untuk menyosialisasikannya.

Saat ini sudah berapa banyak jumlah homeschooling?
Sekitar 10-20 persen dari seluruh pendidikan alternatif di Indonesia. Jumlahnya di seluruh Indonesia sekitar seribu sampai 1.500, karena beberapa pesantren dan padepokan pencaksilat pun bisa dikategorikan sebagai homeschooling. Misalnya Qoriyah Thoyyibah di Gunung Merbabu yang memenuhi syarat komunitas homeschooling. Kalau di Jakarta ada sekitar 600-an. Homeschooling tunggal sekitar 100, 500 lainnya homeschooling majemuk dan komunitas. Homeschooling tunggal tak banyak karena orang tua perlu kemampuan tinggi dalam hal pengetahuan, pendidikan, dan tanggung jawab. Apalagi, selain orang tua mengajar sendiri, kadang juga harus memanggil tutor. Biayanya besar.

Lulusannya sudah berapa banyak?
Jumlah pastinya tidak diketahui, karena ini mirip fenomena gunung es. Lulusan homeschooling yang cukup banyak itu terjadi Mei 2006 lalu, terutama dari Morning Star Academy. Jumlahnya sekitar 50-an orang.

Bagaimana aturan perundangan mengakomodasi homeschooling?
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 2/1989 sampai No 20/2003 telah menghargai proses belajar mandiri. Kalau sekarang menjadi lebih marak, itu karena pebelajar mandiri atau homeschooler meminta pengakuan pendidikan kesetaraan lewat ujian nasional (UN). Kemudahan juga dilakukan dengan kebijakan Alih Kredit Kompetensi (AKK). Lewat AKK, homeschooler dihargai kesetaraannya melalui tes penempatan atau tes pengakuan. Tapi ini hanya berlaku bagi homeschooler yang tidak punya dokumen. Bagi yang punya dokumen semacam buku raport dan transkrip nilai, proses pembelajarannya tinggal dikonversi dan langsung berhak ikut ujian kesetaraan.

Bagaimana Depdiknas mengawasi kualitas homeschooling, misalnya soal kurikulum dan kompetensi pengajarnya?
Kami sulit mengawasi, karena penyelenggara homeschooling sampai saat ini memang tidak mau diawasi. Saat mau didata saja, mereka selalu bilang 'kok kayaknya pemerintah mau mengawasi kami?' Seharusnya mereka tak perlu khawatir, karena tujuan kami bukan mengawasi melainkan membantu. Misalnya kami ingin menginformasikan standar isi kurikulum, jumlah jam pelajaran yang standar, dan lain-lain agar langsung bisa dikonversi bila nanti sudah saatnya homeschooler ikut ujian kesetaraan. Ada lima pelajaran wajib yang tak bisa ditinggalkan oleh homeschooling, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, IPS, IPA, dan Bahasa Inggris. Yang lain boleh dikembangkan dan sesuaikan sesuai potensi dan kebutuhan. Selain itu, untuk homeschooling Paket A, peserta didiknya juga harus memiliki keterampilan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Paket B memiliki keterampilan memenuhi kebutuhan dunia kerja, dan Paket C memiliki keterampilan berwirausaha.

Pendataan itu terkait juga dengn rencana penyaluran dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP)?
Ya. Memang sih banyak homeschooling yang tidak perlu bantuan biaya karena banyak penyelenggaranya keluarga the have, middle-up. Tapi, beberapa orang tua juga mengaku menyelenggarakan homeschooling justru karena nggak punya biaya menyekolahkan anaknya ke sekolah formal. Jadi jangan salah paham seolah-olah kami ingin mengatur. Justru kami ini ingin melayani untuk memperluas akses pendidikan. Pendidikan itu kan tanggung jawab bersama. Toh mereka juga kan menghendaki pengakuan dan legitimasi.

Kalau didata saja sulit, bagaimana Depdiknas mengontrol kualitasnya?
Kami bisa mengontrolnya lewat ujian kesetaraan. Karena yang namanya pendidikan informal dan nonformal itu memang baru dianggap setara dengan pendidikan formal bila telah melalui proses penyetaraan lewat ujian kesetaraan yang diselenggarakan lembaga yang ditunjuk pemerintah.

MELAWAN LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI

1. Pendahuluan

Liberalisasi (kapitalisasi) pendidikan tinggi merupakan penerapan sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan tinggi, dengan modus utamanya integrasi pendidikan tinggi dengan pasar global. Liberalisasi pendidikan tinggi berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktornya, yaitu Multi National Corporation (MNC) yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat oleh WTO untuk terjun dalam arus globalisasi berdasarkan paham neoliberalisme.

Sebagai salah satu varian kapitalisme, neoliberalisme merupakan bentuk modern liberalisme klasik dengan 3 (tiga) ide utamanya; yaitu pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (yakni kebebasan dan tanggung jawab individu). (Adams, 2004). Implikasi dari perpaduan ide pasar bebas dengan marjinalisasi peran negara dan pengutamaan tanggung jawab individu, adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara dalam kegiatan ekonomi, termasuk pembiayaan pendidikan. Pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan dilegalkan dengan istilah lain yang menipu : "pembebasan pendidikan dari intervensi negara".

Di Indonesia, pelepasan tanggung jawab negara ini terwujud nyata sejak tahun 2000 ketika beberapa Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, UGM, ITB dan IPB diubah bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Dengan format BHMN, pembiayaan pendidikan PTN-PTN tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah. Akhirnya PTN-PTN itu harus kesana kemari mencari dana sendiri, antara lain melalui "jalur khusus" dalam menerima mahasiswa. Biaya masuk jadi naik mulai Rp 25 juta sampai Rp 150 juta. Bahkan untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Liberalisasi pendidikan tinggi ini harus dicermati dan dikritisi oleh semua pihak, khususnya mereka yang berwenang dan berkecimpung di dunia pendidikan tinggi. Mengapa? Ada setidaknya 2 (dua) alasan. Pertama, karena liberalisasi pendidikan merupakan suatu proses konspiratif (kongkalikong) yang jahat. Kedua, karena liberalisasi pendidikan menimbulkan dampak-dampak destruktif yang berbahaya.

2. Konspirasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Liberalisasi pendidikan tinggi tidak akan terjadi kalau tidak ada aktivitas aktor-aktor utama dan aktor pembantu yang saling bekerjasama dalam proyek globalisasi berdasarkan neoliberalisme sejak tahun 1980-an.

Padahal, globalisasi menurut Stiglitz (2003) merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya (Effendi, 2007). Karena itu, interdependesi seperti itu pasti lebih menguntungkan negara-negara kapitalis yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi, dan sebaliknya hanya menimbulkan kerugian bagi negara-negara Dunia Ketiga yang lemah. Tegasnya, bagi Dunia Ketiga termasuk Indonesia, globalisasi adalah kolonialisasi (Khor, 1995; Ling, 2000).

Globalisasi dengan demikian, tak berlebihan jika disebut bentuk mutakhir imperialisme Barat. Jeffry Sachs yang dikenal radikal dalam menanggapi globalisasi menilai bahwa globalisasi tak lain adalah bungkus baru dari developmentalisme yang merupakan episode lanjutan dari imperialisme yang gagal dalam bentuk awalnya (Prasetyantoko, 2001:15).

Oleh karena kerjasama dalam globalisasi ini adalah kerjasama dalam kejahatan, bukan dalam kebaikan, maka liberalisasi pendidikan tinggi kita sebut sebagai konspirasi alias kongkalikong. Allah SWT berfirman :

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran..." (QS Al-Ma`idah [5] : 2)

Konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi terwujud berkat ulah aktor-aktor utama dan aktor pembantu berikut ini (Wibowo, 2004; Mugasejati & Martanto, 2006; Nopriadi, 2007) :

1. Negara-negara kapitalis

2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia)

3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)

4. Pemerintah Dunia Ketiga

(1) Negara-Negara Kapitalis

Negara-negara kapitalis merupakan aktor utama dalam liberalisasi pendidikan tinggi. Mengapa? Sebab mereka akan banyak mengeruk untung sangat besar. Sofian Effendi (2007) menerangkan ada 3 (tiga) negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105).

Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20 % PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja dan merupakan 20 % dari ekspor total negeri kangguru tersebut. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.

Sofian Effendi (2007) menerangkan pula bahwa hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi.

(2) Lembaga-Lembaga Internasional

Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.

WTO akan teru menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

(3). Korporasi Multi/Trans Nasional (MNC/TNC)

Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.

Berbagai lembaga pendidikan tinggi luar negeri swasta (privat) dapat dianggap sebagai MNC/TNC yang akan turut serta masuk ke dalam kancah pendidikan tinggi di Indonesia.

WTO sendiri telah mengidentifikasi empat mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan online degree program, atau mode 1; (2) Consumtion abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri, disebut mode 2; (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, atau mode 3; (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal, atau mode 4.

Liberalisasi perguruan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.

(4). Pemerintah Dunia Ketiga

Masuknya kekuatan perusahaan multinasional dan imperialisme negara kapitalis dalam proyek globalisasi tidak akan berhasil tanpa ada penerimaan dan dukungan dari pemerintah negara dunia ketiga, entah secara sukarela atau terpaksa.

Pemerintah Indonesia (eksekutif), dan juga DPR (legislatif) sayang sekali secara sadar telah terlibat dalam konspirasi globalisasi ini. Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan meratifikasi semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali "jasa nonkomersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya."

Di samping langkah legal-formal itu, pemerintah dunia ketiga juga dapat dipersalahkan berkolaborasi dengan asing karena lemahnya mereka dalam mengelola negara. Liberalisasi pendidikan tinggi akan mudah mencari alasan untuk masuk Indionesia karena dua alasan : pertama, perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah. Kedua, secara umum mutu pendidikan nasional kita mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut yang hakikatnya lahir dari ketidakbecusan pemerintah, sering menjadi alasan untuk "mengundang" masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia.

Peran pemerintah sebagai aktor konspirasi global akan semakin jelas, kalau kita melihat berbagai perangkat undang-undang yang menguntungkan kaum kapitalis global, namun di sisi lain menyengsarakan rakyat Indonesia. Lihat misalnya adanya UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, dan yang sedang dibahas saat ini di DPR, yakni RUU BHP.

RUU BHP direncanakan akan disahkan sebagai UU tahun 2010. RUU BHP ini merupakan salah satu proyek Dikti, yaitu Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (loan) dari Bank Dunia. Jelas RUU BHP membawa kepentingan asing.

3. Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi pendidikan yang konspiratif tersebut, banyak membawa dampak negatif. Di antaranya adalah :

(1) Dampak ideologis : semakin kuatnya hegemoni idelogi kapitalisme-sekuler.

Hal ini akan diperkirakan terjadi, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar tranfer pengentahuan, melainkan juga transfer nilai-nilai atau keyakinan (doktrin). Sebagaimana pesantren melestarikan doktrin Islam seperti syariah, jihad, dan Khilafah, pendidikan tinggi yang mengalami liberalisasi juga akan membawa serta melestarikan doktrin-doktrin khasnya, yaitu nilai-nilai kapitalisme-sekuler, seperti kebebasan, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Khususnya ini akan terjadi pada bidang keilmuan sosial / humaniora. Program yang sering digunakan untuk menanamkan ideologi kufur ini adalah pertukaran pelajar/mahasiswa atau pemberian beasiswa. Joseph S. Nye dalam Soft Power (2004) mengutip mantan Menlu AS Collin Powell, bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi "diplomat" AS di kelak kemudian hari.

(2) Dampak politik : hancurnya kedaulatan negara untuk mengatur rakyatnya sendiri.

Globalisasi pendidikan tinggi walaupun bertujuan untuk memperbaiki mutu dan akses ke pendidikan tinggi, pasti merupakan gangguan terhadap kedaulatan Indonesia dalam mengatur salah satu tujuan kemerdekaannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemandirian bangsa ini, dalam perumusan kebijakan nasional untuk mengatur bidang pendidikan, mau tidak mau harus dikorbankan agar provider pendidikan tinggi komersial dari luar negeri dapat lebih leluasa masuk (baca : menjajah) ke Tanah Air.

(3) Dampak ekonomi : mahalnya biaya pendidikan.

Dampak yang paling mudah dilihat dan dirasakan dari proses kapitalisasi pendidikan tinggi adalah mahalnya biaya pendidikan. Survei membuktikan terjadinya peningkatan biaya pendidikan pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN. Contohnya di UI. Biaya DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) yang semual besarnya ahanya Rp 500 ribu meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 1,5 juta setelah UI menjadi BHMN.

(4) Dampak Sosial : terjadinya kesenjangan kaya miskin

Mahalnya biaya pendidikan akan memunculkan jurang peluang antara calon mahasiswa yang kaya dan yang miskin. Yang kaya akan lebih mudah masuk ke perguruan tinggi favoritnya karena dia punya uang. Sedangkan yang miskin terpaksa gagal. Maka dalam perspektif jangka panjang, akan terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Yang kaya akan makin kaya, yang terpisah oleh jurang yang dalam dengan yang miskin yang gagal mengakses pendidikan tinggi.

4. Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Liberalisasi pendidikan tinggi perlu dilawan karena menimbulkan banyak bahaya (dharar) seperti telah diuraikan. Padahal dalam kaidah fiqih dinyatakan :

Adh-Dharar yuzaalu

"Segala bentuk bahaya wajib dihilangkan."

Selain itu liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme yang hanya akan memperkuat dominasi kafir atas muslim. Hal ini tidak boleh terjadi. Firman Allah SWT (artinya) :

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman." (QS An-Nisaa` : 141)

Strategi perlawanannya secara garis besar adalah sebagai berikut :

Pertama, langkah politik (al-kifah as-siyasi) :

(1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.

(2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.

(3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.

(4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.

Kedua, langkah ideologi (ash-shira'ul fikri) :

(1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme).

Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.

(2) terhadap imperialisme.

Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa'idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme.

(3) terhadap ideologi Islam.

Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi.

(4) terhadap sistem pendidikan Islam.

Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging). [ ]

Pemerintah Tingkatkan Anggaran Pendidikan Tinggi

Pemerintah akan meningkatkan anggaran bantuan untuk 82 perguruan tinggi negeri dan sekitar 400 perguruan tinggi swasta, dari Rp 12,9 triliun menjadi Rp 13,5 triliun.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menyatakan pemerintah akan terus meningkatkan anggaran untuk biaya pendidikan di universitas meski mengembangkan konsep otonomi kampus dengan bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Otonomi kampus, kata dia, hanya untuk memberikan kewenangan lebih bagi universitas mengelola kampus bukan menyerahkan sepenuhnya pembiayaan operasional ke kampus.

Hingga kini lebih dari 50 persen biaya operasional kampus masih ditanggung oleh pemerintah. "Jadi jangan khawatir, jangan bilang (pemerintah) mau lepas tangan," kata Kalla pada temu wicara jarak jauh dengan mahasiswa di kampus Universitas Hasanuddin, Kamis.

Ia meminta mahasiswa dan masyarakat tidak mengkhawatirkan BHP karena konsep tersebut justru membuka ruang untuk inovasi sehingga pengelolaan kampus dapat lebih fleksibel.

Dalam temu wicara jarak jauh tersebut beberapa mahasiswa
mengeluhkan naiknya iuran pendidikan atau SPP yang mereka
tengarai sebagai akibat dari bentuk BHP bagi perguruan
tinggi.

Namun Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyatakan tidak ada hubungan antara BHP dengan kenaikan biaya kuliah. Kenaikan SPP adalah hal yang wajar karena biaya kebutuhan pendidikan memang terus meningkat.

Meski begitu Satryo mengatakan departemennya akan mengaudit kenaikan SPP di kampus yang mendapat bantuan dana pendidikan dari pemerintah. "Akan kami lihat kewajarannya. Kami cek semuanya bagaimana keuangannya,"

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Inggris

Sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di Inggris telah dimulai sejak 1960-an ketika Council for National Academic Awards (CNAA) didirikan dengan tujuan memvalidasi program-program pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga non-universitas. Di era PM Margareth Thacther, ‘value for money’, merupakan isu utama dengan adanya gerakan ‘new public management’. Gerakan ini mengharuskan adanya pertanggungjawaban terhadap dana-dana publik yang dialokasikan ke perguruan tinggi. Pada era sebelum PM Margareth Thacther, perguruan tinggi di Inggris, yang seluruhnya merupakan perguruan tinggi pemerintah, tidak pernah tersentuh oleh inspeksi atau penilaian kinerja dari pihak luar. Sejak awal berdirinya sekitar abad 12, universitas-universitas di Inggris adalah institusi publik yang memiliki independensi dan otonomi penuh.

Gerakan ‘value for money’ yang dicanangkan oleh PM Margareth Thacther mengharuskan dana-dana publik digunakan secara efisien dan efektif, termasuk dana-dana yang dialokasikan ke universitas yang sebelumnya tidak pernah dinilai secara eksternal oleh Pemerintah. Pada tahun 1987 Pemerintah Inggris menerbitkan White Paper 1987: Higher Education: Meeting the Challenges yang menjadi dasar dikeluarkannya kebijakan bahwa universitas harus dinilai secara eksternal oleh Pemerintah yang mencakup tiga kriteria penilaian yaitu: standar akademik, mutu pembelajaran dan pencapaian mahasiswa.

Untuk mengimplementasikan kebijakan ini pada tahun 1988 dibentuklah CVCP atau Council for Vice Chancellor and Council for Vice Principal atau Dewan Rektor yang merumuskan tentang academic standards serta academic audit untuk menilai sistem pengendalian mutu dari setiap perguruan tinggi.

Pada tahun 1991 Pemerintah Inggris mengeluarkan White Paper 1991: Higher Education – a New Framework. White paper ini merekomendasikan adanya satu sistem untuk pendidikan tinggi (sistem non-universitas, seperti akademi, politeknik atau institut, dijadikan universitas) untuk memudahkan struktur pendanaan. Lembaga CNAA yang bertugas mengontrol mutu lembaga non-universitas dibubarkan.

Untuk menindaklanjuti ini pada tahun 1992 dibentuk Higher Education Quality Council (HEQC) oleh Pemerintah yang diberi wewenang mengalokasikan dana publik untuk universitas berdasarkan hasil penilaian eksternal terhadap mutu universitas yang bersangkutan. HEQC meneruskan kegiatan audit akademik yang dilakukan oleh CVCP dan memperluas kriteria yang mencakup: programmes of study; teaching, learning and communication; academic staffs; assessment and classification procedures, verification, feedback and enhancement; serta promotional materials.

Pada tahun 1997 academic audit dihentikan, karena setelah dievaluasi terdapat berbagai masukan dan kritikan dari kalangan perguruan tinggi. Kritikan yang utama adalah academic audit terlalu memfokuskan pada pemeriksaan terhadap dokumentasi. Untuk itu dilakukan perubahan penekanan ke arah ‘verifikasi terhadap institutional claim’. Aspek yang dinilai dibedakan menjadi aspek mayor dan aspek minor. Aspek mayor terdiri dari strategi institusi untuk mencapai tujuan pendidikan (quality strategy) serta kebijakan institusi untuk mempertahankan dan meningkatkan standar akademik. Dua aspek minor adalah infrastruktur untuk pembelajaran dan komunikasi internal dan eksternal. Audit Akademik digantikan dengan ‘quality assessment’.

HEQC menerbitkan praktik baik atau good practice guidelines yang meliputi overall quality framework, students’ entry, quality of students experience, student outcomes, credit-based learning, guidance and learner support, and postgraduate research degrees.

Pada tahun 1997 HEQC dibubarkan dan dibentuklah Quality Assurance Agency (QAA) pada tahun yang sama dan bertugas meneruskan fungsi HEQC. Yang menjadi dasar pembentukan ini adalah laporan dari Dearing Committee pada tahun 1996. Secara ringkas tugas utama dari QAA adalah (1) merancanang proses penilaian mutu (quality assessment process) dan (2) mengembangkan infrastruktur yang mendasarinya. Pada tahun 2000, QAA menerbitkan dokumen yang berjudul ‘New Quality Framework’ yang secara ringkas berbunyi:

Subject benchmark information, programme specification that spell out outcomes to be achieved, and a qualifications framework based on clear and explicit descriptors of level are the new means of defining standards in higher education. Together, they have a function similar to that of a code defining professional standards, in that they tell the individual client (the student) and the wider interested public (especially the employer) what they can reasonably expect from a professional service. Universities and their teachers must deliver to those standards if they are to convince the world that they are true professionals (Randall, 2000: 166)

The basic notion was that institutional quality assurance would be judged against a number of rameworks: one or more qualification frameworks, ‘benchmark statements of subject threshold standards’ and codes of practice. These sector-wide frameworks would be supplemented by local specifications setting out the intended purposes and outcomes of each programme of study and by ‘progress file’ recording individual students’ achievements (Brown, 2004)

Sejak tahun 1997, QAA melaksanakan external quality assessment untuk setiap program studi. Selama pelaksanaan, beberapa kritikan yang masuk adalah bahwa proses external quality assessment membutuhkan informasi yang sangat banyak sehingga memberatkan universitas ketika akan dinilai. Oleh karena itu, sejak tahun 2000, diusulkan perbaikan cara penilaian yang meringankan pihak universitas. Penilaian secara eksternal tidak lagi menilai secara langsung mutu program studi, akan tetapi lebih ke arah memverifikasi penilaian mutu pendidikan yang dilakukan secara internal, kemudian hasil dari penguji eksternal, mempelajari umpan balik dari mahasiswa, dosen dan karyawan, serta pengamatan proses di institusi secara keseluruhan. Siklus penilaian adalah setiap 6 tahun.

Pada sekitar tahun 2000an muncul beberapa lembaga yang terkait erat dengan mutu pendidikan tinggi, seperti Institute for Learning and Teaching (ILT), Learning Teaching Society Network (LTSN), Higer Education Staff Development Agency (HESDA), Teaching Quality Enhancement Committee (TQEC). Munculnya berbagai lembaga ini ternyata tidak disertai dengan peran dan tugas yang jelas, sehingga muncul berbagai duplikasi. Pada tahun 2003, dimunculkan sebuah wacana baru untuk membentuk lembaga baru yang menggantikan fungsi QAA dan merupakan peleburan dari berbagai institusi yang terkait dengan peningkatan mutu pendidikan tinggi, yaitu ‘Academy for the Advancement of Learning and Teaching in Higher Education’